Minggu, 07 Oktober 2012

Kode Etik Jurnalistik




Kode Etik Jurnalistik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi PancasilaUndang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung

[sunting]Penafsiran Pasal Demi Pasal

[sunting]Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

[sunting]Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

[sunting]Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

[sunting]Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

[sunting]Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

[sunting]Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

[sunting]Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

[sunting]Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

[sunting]Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

[sunting]Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

[sunting]Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowa'a Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M. Suprapto
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M. Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A. Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia (PWIRI)-Ramses Ramona S.
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson Togap Siagian-
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Hazirun
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso Kusumodiningrat. 30. Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)-Darwin Hulalata,SH. (Disunting oleh Asnawin)



http://id.wikisource.org/wiki/Kode_Etik_Jurnalistik




Kode Etik Jurnalistik



Pelanggaran Dan Sanksi
Kode Etik Profesi Wartawan Atau Pers

A. PELANGGARAN
Walaupun pers dituntut harus selalu tunduk dan taat kepada Kode Etik
Jurnalistik, pers ternyata bukanlah malaikat yang tanpa kesalahan. Data yang
ada menunjukkan bahwa pada suatu saat pers ada kalanya melakukan
kesalahan atau kekhilafan sehingga melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Contoh-Contoh Kasus

Berikut ini contoh-contoh kasus pelanggaran yang dilakukan wartawan (pers)
dan pernah terjadi :
1. Sumber Imajiner
Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu
harian di Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di
Partai Golkar Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber
berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat
Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata
pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud
itu juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain,
sumber beritanya fiktif.
 Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini
karena telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau
fiktif.

2. Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan
anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur,
baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus
dilindungi.
Masih di Medan, satu harian lainnya menemukan adanya pencabulan atau
pelecehan seksual oleh seorang pejabat setempat terhadap seorang anak di
bawah umur. Koran ini sampai tiga kali berturut-turut menurunkan berita
tersebut. Di judul berita pun nama korban susila di bawah umur itu disebut
dengan jelas. Tidak hanya itu. Selain memuat identitas berupa nama korban,
foto korban pun terpampang dengan jelas dan menonjol karena ingin
membuktikan bahwa kejadian itu memang benar.

Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah
yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.
3. Tidak Paham Makna "Off the Record"
Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan
tentang off the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan
yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh
menyiarkannya. Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak
awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin
menyatakan keterangan off the record.

Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi
rahasia umum.
Satu lagi, terdapat tradisi jurnalis bahwa off the record tidak berlaku untuk
opini. Dengan kata lain, off the record lebih diutamakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan data dan fakta. Tetapi, kalau wartawan sudah bertemu
dengan narasumber yang menyatakan keterangannya off the record, ia terikat
dengan kesepakatan ini. Apabila keterangan off the record disiarkan juga,
maka seluruh berita tersebut menjadi tangggung jawab wartawan atau pers
yang bersangkutan. Dalam hal ini narasumber dibebaskan dari segala beban
tangung jawab karena pada prinsipnya keterangan off the recordharus
dipandang tidak pernah dikeluarkan oleh narasumber untuk disiarkan.
Pemberitaan sesuatu yang off the recordsepenuhnya menjadi tangung jawab
pers yang menyiarkannya.

Tetapi, justru inilah yang tidak dilakukan oleh wartawan satu harian di
Yogyakarta. Seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat
mengungkapkan bahwa ada pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung
Telepon di Yogyakarta antara Rp5 juta - Rp25 juta. Keterangan tersebut
dengan jelas dan tegas dinyatakan sebagai off the record. Tetapi, ternyata oleh
wartawan surat kabar ini keterangan tersebut tetap disiarkan. Ini jelas
merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, yakni menyiarkan berita yang
sebenarnya off the record.

Akibatnya, narasumber yang tadinya begitu percaya kepada wartawan, merasa
dikhianati. Apalagi kemudian dari segi yuridis atau hukum narasumber
tersebut dituduh mencemarkan nama baik. Di tingkat Pengadilan Negeri ia
kalah. Alasannya, menurut hakim, yang boleh mengatakan off the record
hanyalah pejabat tertentu! Orang pada posisi setingkat narasumber itu,
seorang yang cuma memiliki jabatan kepala, tidak boleh atau tidak berhak
mengeluarkan pernyataan off the record, kata hakim. (Pendapat demikian,
dilihat dari sudut pandang Kode Etik Jurnalistik, tentulah sangat keliru).

Pada tingkat Pengadilan Tinggi, narasumber tersebut dibebaskan. Tetapi, di
tingkat kasasi, Mahkamah Agung menghukum narasumber dengan dua bulan
penjara. Pengajuan "Peninjauan Kembali" oleh narasumber ditolak dengan
alasan tidak memenuhi alasan formal. (Sebagai bentuk kekecewaan,
narasumber sempat mengiris nadi tangannya untuk bunuh diri, tetapi jiwanya
dapat diselamatkan).
Ketidakpahaman terhadap makna off the record juga terjadi pada wartawan satu terbitan pers di Surabaya. Suatu saat adabriefing dari seorang petinggi
Tentara Nasional Indonesia tentang berbagai hal yang dinilai sensitif bagi
perkembangan pertahanan dan keamanan negara. Perwira tinggi itu sebelum
memulai keterangannya sudah mengatakan bahan-bahan yang diberikannya
bersifat off the record. Apa yang kemudian terjadi? Salah seorang wartawan
yang hadir di sana memberitakan seluruh isi briefing tersebut dengan
lengkap. Malahan di bagian akhir laporannya diberitakan bahwa keterangan
itu bersifat off the record.

Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini
menurunkan kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka
narasumber tidak akan lagi percaya kepada pers.
4. Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda."
Adapun yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung,
yaitu dua tokoh militer Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan
juga mantan wakil presiden, serta Edy Sudrajat yang juga mantan panglima
TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana pers sering kurang
memperhatikan kredibilitas narasumber.

Kisahnya bermula dari seorang wartawan di satu harian ibu kota. Suatu hari
sang wartawan berjumpa dengan Nani, seorang pramuria di Bar King di
Jakarta. Berceritalah Nani dengan bangganya bahwa ia diperebutkan oleh dua
jenderal sekaligus, masing-masing Try Sutrisno dan Edy Sudrajat. Berita ini
semula sempat diturunkan di harian tempat wartawan itu bekerja. Tetapi,
karena pertimbangan jurnalistik, terbitan pers itu menolak menyiarkannya.

Sesudah masa Reformasi, sang wartawan menjadi pemimpin redaksi dan
sekaligus pemimpin umum satu tabloid. Ia merasa bahwa kisah ini akurat
karena didengarnya langsung dari mulut seorang pramuria. Ia mengaku "ingin
membela orang tertindas dan demi kemanusiaan." Ia juga mengaku sudah tiga
kali mencoba mendatangi rumah Try Sutrisno, tetapi ditolak oleh penjaganya.
Pemberitaan ini melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pertama, karena wartawan tidak memperhatikan kredibilitas narasumbernya. Walaupun mendengar
sendiri pengakuan tersebut, ia tidak memperhatikan siapakah yang
menceritakan kisahnya. Biasanya sudah lumrah bahwa para pramuria
bercerita tentang kehebatan para "kliennya" untuk menunjukkan daya tarik
mereka. Soal kebenarannya, tentu saja lain perkara. Semua keterangan seperti
ini pada awalnya tentulah harus diragukan. Di sinilah wartawan tersebut tidak
meneliti kembali kebenaran berita yang akan disiarkannya.

Dalam kasus seperti ini seharusnya wartawan atau pers wajib lebih dahulu
meragukan atau skeptis terhadap informasi semacam itu, sampai dapat
dibuktikan kebenarannya sebelum boleh disiarkan. Tanpa fakta yang benar,
berita seperti itu belum layak disiarkan.
Dari segi hukum, Try Sutrisno berkeberatan untuk melakukan kompromi. Ia
mengadukan sang wartawan ke penegak hukum, dan memang oleh
pengadilan wartawan tersebut akhirnya dihukum penjara enam bulan.
5. Melanggar Hak Properti Pribadi
Merasa ada berita affair atau perselingkuhan yang menarik antara anak
mantan presiden Indonesia dengan seorang polisi, seorang wartawan majalah
mingguan di Jakarta nekad masuk ke rumah seorang narasumber dengan
melompati pagar rumah narasumber tersebut. Ketika melakukan hal itu, sang
wartawan tidak sedang dalam penyamaran dan sudah diperingatkan oleh
pemilik rumah untuk tidak boleh masuk. Perbuatan ini merupakan
pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang mengharuskan wartawan
menghormati hak-hak pribadi orang lain, kecuali bila ada kepentingan umum.

Walaupun wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum,
tidak berarti wartawan dibolehkan untuk tidak menghormati hak-hak hukum
yang dimiliki pihak lain. Wartawan sebagai warga negara mempunyai
kedudukan yang sama di mata hukum. Batas-batas kemerdekaan wartawan,
dalam situasi umum, adalah batas hak-hak hukum yang dimiliki oleh pihak
lain. Wartawan juga harus menghormati hak tersebut karena rumah adalah
milik pribadi orang lain yang keberadaannya sah dan diakui oleh perundangundangan. Maka apabila pemilik rumah ingin mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap siapa pun, termasuk wartawan itu, hal tersebut diakui
dan dilindungi oleh hukum.

Oleh sebab itulah maka memasuki rumah seseorang tanpa izin merupakan
pelanggaran, dan risiko yang ada menjadi tanggung jawab wartawan itu
sepenuhnya. Di Amerika Serikat, apabila ada pihak yang tidak dikehendaki
memasuki rumah orang lain dan tidak mau pergi, kalau ditembak, maka pihak
yang masuk ke rumah itulah yang dianggap bersalah.
Seharusnya wartawan menunggu saja di luar pagar. Kalaupun tetap merasa
memiliki kepentingan umum dalam kasus ini, seharusnya wartawan
melakukan peliputan dengan teknik investigative reporting. Sebab, dalam
peliputan investigatif, menurut mekanisme pers, ketentuan hukum yang
berlaku dapat memperoleh pengecualian untuk diterobos---dengan catatan
bahwa segala risiko tetap menjadi tangung jawab pers.

6. Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus
memperhatikan relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat. Pemasangan foto atau penyiaran gambar illustrasi yang
sembarangan dapat diterima dengan makna yang jauh berlainan, dan karena
itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik jurnalistik.
Satu majalah membuat berita tentang banyaknya remaja putri yang menjadi
wanita panggilan atau menjajakan seks bebas. Pemuatan berita tersebut
disertai satu foto ilustrasi yang menggambarkan aktivitas sekelompok remaja
puteri di suatu pusat perbelanjaan. Para remaja puteri yang ada dalam foto
ilustrasi itu sama sekali bukan pelaku yang menjadi bahan laporan dan tidak
ada kaitannya dengan pelaku. Dalam caption atau teks gambar diterangkan,
"Para remaja puteri di sebuah pusat perbelanjaan."

Orang tua remaja puteri yang ada dalam foto itu langsung memprotes keras
pemuatan foto anaknya di majalah tersebut. Dengan adanya foto itu seakanakan kelompok remaja puteri penganut seks bebas yang diceritakan dalam
berita itu termasuk anaknya. Padahal, tidak benar sama sekali. Redaksi majalah itu pun mengakui bahwa foto itu tidak dimaksudkan sebagai pelaku
dalam laporan ini, melainkan hanya sebagai ilustrasi.

Pemuatan foto semacam ini melanggar Kode Etik Jurnalistik karena
menyiarkan berita yang menyesatkan. Ilustrasi foto yang dimuat itu seakanakan menunjukkan atau merujuk kepada tulisan bahwa itulah para remaja
puteri yang "menjual diri" atau melakukan seks bebas.
Kasus serupa ini jugs terjadi pada satu stasiun televisi di Jakarta. Ketika
melakukan penyiaran laporan investigatif tentang kawin kontrak antara gadisgadis desa Indonesia dengan warga negara asing, khususnya dengan warga
dari Timur Tengah, stasiun itu menyiarkan upacara perkawinan di daerah
tersebut. Padahal, ternyata peristiwa itu adalah upacara perkawinan yang
sebenarnya, bukan upacara kawin kontrak sebagaimana yang dimaksud oleh
stasiun televisi tersebut.

Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya
merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak
akurat, tidak melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, dan
cenderung menjadi fitnah. Setelah mengetahui kesalahannya, stasiun televisi
itu segera meralat dan meminta maaf atas kesalahannya.
7. Wawancara Fiktif
a. Untuk mengejar eksklusivitas, ada wartawan yang akhirnya melakukan
kesalahan fatal. Untuk membuktikan kehebatannya, sebagian wartawan
sampai menipu masyarakat dengan wawancara yang sebenarnya tidak pernah
ada alias fiktif. Satu harian di Jakarta memuat wawancara dengan seorang
tokoh dalam bentuk tanya jawab yang cukup panjang.
Setelah dimuat, barulah diketahui bahwa narasumber wawancara itu
sebenarnya sudah meninggal dua tahun sebelum laporan ini disiarkan.
Dengan kata lain, wawancara tersebut fiktif alias tidak pernah dilakukan
dengan narasumber yang sebenarnya.
Jelas ini merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena melakukan pemberitaan bohong. Tetapi, harian tersebut tidak pernah
meminta maaf.

b. Kasus wawancara fiktif juga terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian
di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri
dari seseorang yang baru saja dituduh sebagai teroris. Untuk meyakinkan
kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana
wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya,
hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas.

Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut juga palsu alias
fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri orang yang dituduh
teroris kala itu sedang sakit tenggorok sehingga untuk bercakap-cakap saja
sudah sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan
wawancara tersebut. Tetapi, yang terutama adalah bahwa wartawan dari
harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka
teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.

Ini juga jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik
karena melakukan pemberitaan bohong dan fitnah.
8. Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
Banyak wartawan yang dalam menyiarkan berita melupakan unsur akal sehat.
Berita pers pada dasarnya tetap harus mengacu kepada akal sehat atau
common sense. Apabila ada berita yang berada di luar akal sehat, harus
dilakukan pengecekan berkali-kali sampai terbukti apakah berita itu benar
atau tidak. Prinsip yang dipakai dalam hal ini adalah, pertama-tama,
wartawan harus lebih dahulu bersikap skeptis atau cenderung tidak percaya
terhadap berita yang tidak masuk akal, sampai memang terbukti sebaliknya
bahwa berita itu benar adanya.

a. Dalam suatu kasus penculikan antarkelompok di Jakarta, beberapa harian
secara bersama-sama memberitakan bahwa salah satu pihak yang diculik
telah "dibor kepala dan lengannya" oleh orang yang menculik. Kendati begitu,
orang yang "dibor" itu ternyata tidak mengalami luka yang berarti.  
'Sebenarnya berita ini bersumber dari petugas resmi Kepolisian Daerah Metro
Jaya. Para wartawan berasumsi bahwa semua bahan yang dikeluarkan dari
pihak resmi, seperti Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, pasti benar
adanya. Namun, belakangan pihak yang dituduh melakukan "pengeboran
kepala dan lengan" dalam berita tersebut melakukan protes.
Sewaktu dimintai konfirmasi kepada para wartawan yang memberitakan soal
pengeboran itu, ternyata mereka tidak dapat membuktikan adanya
"pengeboran kepala dan tangan korban." Ketika ditanyakan oleh Dewan Pers
kepada salah seorang wartawan yang memberitakan peristiwa tersebut, ia
menjawab, "Yah, mungkin dicolek-colek sedikit dengan bor." Tetapi,
pengeboran itu sendiri rupanya tidak pernah terjadi.

Terlepas dari kenyataan bahwa pihak yang melakukan penculikan memang
bersalah, dan berita yang diperoleh berasal dari sumber resmi seperti Humas
Polda, tetapi berita yang dibumbui dengan "pengeboran kepala dan tangan"
ini oleh Dewan Pers dinyatakan melanggar Kode Etik Jurnalistik. Berita
semacam ini tidak akurat dan wartawannya tidak mengecek kebenaran
peristiwanya.

Dalam hal ini wartawan tetap dituntut untuk memakai akal sehat. Jika
menurut akal sehat tidak dapat diterima, maka menjadi kewajiban wartawan
untuk melakukan pengecekan berulang-ulang sampai kebenaran tentang apa
yang terjadi pada kasus itu terbukti. Mengabaikan akal sehat dapat
menyebabkan wartawan melanggar Kode Etik Jurnalistik.
b. Terlupakannya pemakaian akal sehat juga menyebabkan satu majalah
berita di Jakarta terpeleset melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dalam
pemberitaan majalah ini dengan jelas dikatakan bahwa Kongres Wanita
Indonesia (Kowani) mendukung perkawinan poliandri, atau perkawinan
wanita dengan lebih dari satu lelaki, serta perkawinan sesama jenis kelamin.
Majalah ini memang sudah melakukan pemberitaan yang berimbang, yakni
dengan mewawancarai juga pihak Kowani. Dalam wawancara itu Kowani
sudah tegas membantah mendukung perkawinan sejenis, apalagi perkawinan poliandri.

Dari sudut asas keberimbangan, majalah itu memang tidak melanggar Kode
Etik Jurnalistik. Tetapi, karena melalaikan pentingnya akal sehat dalam pers,
majalah ini akhirnya melanggar Kode Etik Jurnalistik. Walaupun sudah jelas
Kowani membantah, masih juga ditulis bahwa organisasi ini mendukung
poliandri dan perkawinan sejenis, Selain itu, majalah ini juga melupakan akal
sehat karena di dunia ini yang melakukan perkawinan poliandri teramat
sangat sedikit. Poliandri antara lain terdapat pada suku Eskimo, Todas di
India, dan sebagian masyarakat di Tibet.

Apakah mungkin organisasi wanita semacam Kowani mendukung poliandri
untuk masyarakat Indonesia? Ini tidak masuk akal. Oleh karena itulah berita
tersebut melanggar Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat dan
mengandung fitnah.
9. Sumber Berita Tidak Jelas
a. Dalam liputan pers, sumber berita harus jelas. Ketika pesawat Adam Air
jatuh di laut Majene, Sulawesi Barat, pada Januari 2007, hampir semua pers
melakukan kesalahan fatal. Hanya beberapa jam setelah pesawat itu jatuh,
sebagian besar pers mewartakan bahwa pesawat tersebut jatuh di daerah
tertentu. Tak hanya itu, ada pula pers yang langsung memberitakan bahwa
rangka pesawat telah ditemukan. Lebih dahsyat lagi sampai ada yang
memberitakan bahwa "sembilan korban ditemukan masih hidup."

Ini luar biasa. Kenapa? Karena setelah setahun peristiwa itu terjadi, ternyata
semua berita tentang di mana jatuhnya pesawat itu dan jumlah korban yang
hidup sama sekali tidak benar. Di mana pesawat jatuh pun tidak diketahui.
Nasib korban juga tidak diketahui. Tetapi, saat itu ada pers yang sampai
berani mengatakan bahwa "para korban sedang dievakuasi." Black
boxpesawat ini baru ditemukan setahun kemudian di bawah kedalaman 2.000
meter laut. Itu pun setelah ada pencarian khusus dengan bantuan Amerika
Serikat.

Pelanggaran kode etik yang dilakukan di sini adalah karena pers yang memberitakan kasus ini tidak mengecek lebih dahulu dari mana asal usul
sumber berita itu. Ketika dimintai konfirmasinya, dari mana sumber berita
itu--yang mempunyai data yang keliru, ternyata sumber berita tersebut
imajiner alias tidak jelas. Pelanggaran kedua, tidak pernah ada permintaan
maaf dari pers terhadap peristiwa ini. Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik,
apabila pers mengetahui bahwa berita yang disiarkannya keliru, maka mereka
harus segera meralat dan meminta maaf.

b. Kemajuan perkembangan teknologi informasi juga sering menggoda
wartawan untuk memakai narasumber yang belum jelas dan yang masih
memerlukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut. Tanpa pengecekan
lebih lanjut, berita yang sumbernya tidak jelas dapat menyebabkan pers
melanggar Kode Etik Jurnalistik. Ini terjadi pada tiga surat kabar dan satu
majalah di Jakarta.

Kisah ini berasal dari berita yang tersebar melalui pesan pendek SMS bahwa
Laksamana Sukardi, mantan menteri Badan Usaha Milik Negara dan
bendahara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), "kabur membawa
duit 125 juta US$."
Berita yang tidak jelas asal usulnya itu langsung "dimakan" oleh tiga surat
kabar dan satu majalah di Jakarta. Merasa mendapat "berita hebat", terbitan
pers itu membuat judul-judul bombastis seakan-akan berita itu sudah mereka
cek kebenarannya. Salah satu harian menulis judul provokatif: "Laks Pantas
Ditangkap." Sedangkan majalah itu menulis: "Kalau Mau Aman, Ia memang
Harus Lari."

Laksamana, yang merasa berita itu sepenuhnya tidak benar dan hanya fitnah,
mengadu ke Dewan Pers. Dari pemeriksaan Dewan Pers terbukti, Laksamana
tidak melarikan diri dengan membawa uang sebagaimana diberitakan.
Faktanya, Laksamana pergi ke Australia untuk menemani anaknya yang sakit
dan telah meminta izin kepada Presiden Megawati Sukarnoputri.
Berdasarkan hasil pemeriksaannya, Dewan Pers mengeluarkan putusan
bahwa keempat terbitan itu tidak melakukan pekerjaan yang dilandasi
profesionalitas jurnalistik dan telah melanggar Kode Etik Jurnalistik. Menurut Dewan Pers, terbitan-terbitan itu "melanggar ketentuan untuk menghormati
asas praduga tidak bersalah, tidak mencampurkan opini dan fakta, harus
berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan
plagiat." Sebagian dari terbitan itu sekarang sudah berhenti beredar.

Pelanggaran ini terjadi karena wartawan mengandalkan narasumber yang
sama sekali tidak jelas, dalam hal ini SMS yang tidak diketahui asal
muasalnya, dan tidak mengecek lagi kebenaran berita itu. Akibatnya, selain
tidak akurat juga melanggar prinsip asas praduga tidak bersalah. Seharusnya
seluruh bahan berita tersebut dicek kembali kebenarannya.
10. Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar
Hak Jawab merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme kerja pers.
Begitu pentingnya Hak Jawab sehingga soal ini diatur baik dalam tingkat
undang-undang maupun dalam Kode Etik Jurnalistik. Hak Jawab memiliki
dimensi demokratis dalam pers. Adanya Hak Jawab menyebabkan publik
memiliki akses kepada informasi pers dan sekaligus sebagai sarana untuk
membela kepentingan mereka terhadap informasi yang merugikan mereka
atau kelompoknya. Maka baik menurut undang-undang maupun Kode Etik
Jurnalistik, pers wajib melayani hak jawab. Pers yang tidak melayani hak
jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (dan juga undang-undang).

Tetapi, dari pengalaman selama seperempat abad terakhir, salah satu
pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang sering terjadi justru dialami
pada pelaksanaan Hak Jawab ini. Masih ada pers yang tidak memahami
makna Hak Jawab sehingga terjadi berbagai pelanggaran terhadap Hak
Jawab. Adapun bentuk dan alasan pelanggaran ini antara lain sebagai berikut:
a. Tidak mengetahui bahwa Hak Jawab harus dilayani sehingga menolak
pemuatan Hak Jawab.
b. Hak Jawab baru dilayani setelah ada pengaduan dari pihak yang merasa
dirugikan ke Dewan Pers atau Dewan Kehormatan organisasi wartawan.
c. Menilai Hak Jawab sebagai salah satu bentuk iklan yang harus dibayar oleh pihak yang mengirimkan tanggapan itu. Oleh sebab itulah terdapat terbitan
yang setelah memuat Hak Jawab segera mengirim kuitansi penagihan dengan
keterangan "untuk pemasangan advertorial." Padahal, sudah jelas bahwa Hak
Jawab wajib dilayani pers dan pemuatan atau penyiarannya harus gratis.
d. Dapat terjadi editing atau penyuntingan yang kurang atau tidak akurat atau
tidak profesional terhadap Hak Jawab sehingga mengubah substansinya.
Bahwa terhadap Hak Jawab boleh dilakukan editing memang betul, tetapi
pelaksanaan editing itu harus memenuhi kaidah profesional dan akurasi,
antara lain tidak boleh sampai mengubah maknanya.
e. Sengaja menunda waktu pelaksanaan Hak Jawab tanpa alasan yang kuat.
Sesuai dengan ketentuan, Hak Jawab harus diberi peluang sesegera mungkin.
Dalam artian bahwa Hak Jawab harus dipenuhi pada kemungkinan
kesempatan pertama sejak Hak Jawab itu diterima.

11. Membocorkan Identitas Narasumber
Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak
mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi
pers membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain
keselamatan narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam
kalau informasi itu disiarkan.
Untuk menghadapi keadaan seperti itulah maka kemudian ada Hak Tolak.
Pers dapat meminta informasi dari narasumber, tetapi narasumber dapat pula
meminta kepada wartawan agar identitasnya tidak disebutkan. Kalau ada yang
menanyakan sumber informasi ini, pers berhak menolak menyebutkannya.
Inilah yang dimaksud dengan Hak Tolak.
Sekali pers memakai Hak Tolak, maka pers wajib untuk terus melindungi
indentitas narasumbernya. Dalam keadaan ini seluruh tanggung jawab
terhadap isi informasi beralih kepada pers. Pers yang membocorkan identitas
narasumber yang dilindungi Hak Tolak melanggar hukum dan kode etik
sekaligus. Tetapi, dalam praktik, karena takut akan ancaman atau tidak
mengerti makna kerahasiaan di balik Hak Tolak, masih ada terbitan yang
membocorkan identitas narasumber yang seharusnya dirahasiakan, baik yang
dilakukan secara terbuka maupun secara diam-diam.* B. SANKSI
Ranjau Hukuman Bagi Wartawan
Karena KUHP masih selalu digunakan dalam mengadili hasil tulisan
wartawan maka perlu waspada dengan pasal-pasal di bawah ini, karena
berdasarkan pasal-pasal KUHP wartawan dimungkinkan dipenjara. Kita
semua tahu uu Pers selalu dikesampingkan pihak penegak hukum, hakim,
jaksa dan polisi dengan lasan macam-macam untuk tidak mau memakai UU
yang khusus mengatur pers yaitu UU pers. Siapa yang harus
memperjuangkan? Jawabannya hanya satu insan pers sendiri yang punya
kepentingan langsung. KUHP yang merupakan produk colonial ratusan tahun
yang lalu memang sengaja dibuat untuk menjerat pers, anehnya Indonesai
sebagai negara jajahannya membuat UU dan RUU yang hukumannya jauh
lebih tinggi dari negara penjajah yang bisa menjerat semua warga negaranya
termasuk wartawan.
Pasal-pasal dan sanksi pidana:
Kategori/jenis Pasal Sanksi hukuman
Penghinaan 310 9 bulan
Pengaduan fitnah 317 4 bulan
Penghinaan terhadap kepala
negara/wakil
134, 136 bis, 142-3 6 tahun (Hapus JR)
Penghinaan terhadap
golongan tertentu
156 5 tahun
Penghinaan terhadap
pemerintah
154 5 tahun
Penghinaan terhadap
penguasa umum
207 7 tahun
Penghinaan terhadap agama
tertentu
156 a 1 th 6 bulan
Penghasutan 160 5 tahun
Penawaran kejahatan 161 6 tahun
Pembocoran rahasia negara 112 4 tahun
Pembocoran rahasia 322 7 tahun
Pornografi 282 9 bulan
Penyiaran kabar bohong 390 1 tahun 8 bulan
Undang-undang selain hukum pidana (KUHP) juga sangat dimungkinkan
wartwan/pers dijerat dengan UU no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektrnik (ITE) Pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 dengan ancaman
pidana penjara  6 tahun atau denda 1 milyar. RUU yang juga akan menimbulkan ketakutan di kalangan pers, RUU
TIPITI (Tindak Pidana Teknologi Informasi) yang sangat bertentangan
dengan semangat kebebasan berpendapat dan berekspresi dan kebebasan
pers. Berdasarkan RUU tersebut menyebutkan ancaman pidana yang variatif
antara 2 tahun hingga paling tinggi 30 tahun penjara. Pasal-pasal ini bisa
menjerat semua orang dan wartawan yang karena memberitakan.
Ancaman pidana pada RUU TIPITI:
pasal 9 paling singkat 10
(sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun .
Pasal 10 dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,
dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda sedikit – dikitnya
Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp.2.000.000.000,-
(dua milyar rupiah).
Pasal 11 dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 4 (empat) tahun atau denda sedikit – dikitnya Rp.
200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp 800.000.000,- (delapan ratus
juta rupiah).
Pasal 12 dipidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda sedikit – dikitnya Rp.
700.000.000,-
(tujuh ratus juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp. 1.500.000.000,-
(satu milyar
lima ratur juta rupiah).
Pasal 13 dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 3 (tiga) tahun , dan dikenakan denda sedikit- sedikitnya
Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal 14 minimal 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 15 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan dikenakan denda
sedikit-dikitnya 3
(tiga) kali dari nilai kerugian yang ditimbulkan.
Pasal 16 dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun. Pasal 17
Pornografi Anak
- anak
dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 18 dipidana
penjara 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, atau denda
sedikit-dikitnya Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp.
1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).
Pasal 19 dipidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda
sedikit – dikitnya
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp.
2.500.000.000,-
(dua milyar lima ratus jut arupiah).
Pasal 20 dipidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling
lama 30 (tiga puluh) tahun, atau
Pasal 21 dipidana penjara paaling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun.
Pasal 22 penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 24 dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 25 dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 26 dipidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling paling lama 5 (lima) tahun
Pasal 27 dipidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
dipidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun..
Pasal 28 dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun
Pasal 29 dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
7 (tujuh) tahun. Ancaman tersebut bisa dijatuhkan kepada wartwan atau pers yang karena
beritanya, karena dianggap sebagai pelaku atau turut serta melakukan atau
mefasitisi perbuatan kejahatan tindak pidana.
Sedang dalam taraf pemeriksaan di polisi RUU TIPITI Pasal 30 penyidik
diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling
lama 6 (enam) bulan.
Sumber :
http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
86:pelanggaran-pelanggaran-kode-etik-jurnalistik&catid=1:etikamedia&Itemid=6
http://www.hukumnews.com/component/content/article/39-opini/173-
etika-dan-hukum-pers-penjara-pukulan-bagi-wartawan-.html

http://teddyhartono.files.wordpress.com/2011/04/pelanggaran-kode-etik-wartawan.pdf


Artikel Terkait: