Sabtu, 04 Januari 2014

Bakti Kepada Orangtua

Suatu hari, saya bertemu dengan seorang sahabat, yang meminta saya untuk “sharing” di acara keluarga besarnya—dalam rangka memperingati kelahiran almarhum ayahandanya ke-100 yang telah meninggal 40 tahun lalu. Saya sungguh merasa surprise, luar biasa sekali! Mengumpulkan seluruh anggota keluarga, yang telah tersebar di belahan dunia, yang berasal muasal dari sepasang suami istri yang telah meninggal 40 tahun lalu? Pasti mendiang almarhum adalah tokoh yang sangat luar biasa, dicintai, dihormati, dibanggakan oleh anak-anaknya, menantu, serta para cucu. Tanpa berpikir panjang, saya mengiyakan. Saya pun segera mengatur ulang jadwal yang telah ada untuk memenuhi permintaan sahabat saya itu.  


Peringatan kelahiran mendiang sang ayahanda tercinta itu dihadiri oleh keluarga besarnya yang terdiri dari sepuluh anak, cucu-cucu, beserta cicit-cicit. Mereka berkumpul di Jakarta pada 7 Februari 2013. Jumlahnya kira-kira 100 orang.

“Tidak ada satu kata pun yang bisa mewakili almarhum. Beliau memiliki karakter yang sudah jadi. Mutiara pun tak bisa mewakilinya: seorang ayah, seorang kepala keluarga yang komplet. Almarhum begitu luar biasa mendidik 10 orang anak. Mungkin tidak meninggalkan harta yang berlimpah, tetapi beliau berhasil menanamkan motivasi, disiplin, dan kekayaan mental lainnya. Kalau tidak mampu sukses mendidik anak-anaknya, tidak mungkin bisa seperti hari ini,” tegas saya mengenai almarhum.

Sungguh penting arti bakti bagi seorang anak. Bagi saya pribadi, memeringati jasa orangtua seperti yang dilakukan anak-anak almarhum, merupakan hal yang baik untuk dilestarikan dan dijadikan contoh bagi anak-anak dari keluarga lain.

Ada kondisi di zaman modern ini di mana anak-anak tak lagi mengurus orangtuanya yang berangkat uzur. Mereka lebih memilih mengirimnya ke panti jompo. Pemimpin Singapura dahulu, Lee Kuan Yew, pernah mengakui kekeliruan dan menyesal karena membuat keputusan yang membolehkan orangtua dikirim ke panti jompo. Bahkan secara gamblang dikatakan Master Cheng Yen—pimpinan Buddha Tzu Chi yang bijaksana—saat diwawancara wartawan. Ketika ditanya alasan dirinya tak mendirikan panti jompo, beliau menjawab dengan anggun dan bijak, “Saya mengharapkan bahwa setiap rumah adalah panti jompo bagi setiap orangtua kita.” Pernyataan itu pantas jadi perenungan.

Bakti bagi setiap orang terhadap orangtuanya tentu tidak sama satu sama lain karena kondisinya berbeda-beda. Tetapi “bakti” adalah hal yang tidak bisa diabaikan. Dalam tradisi Tionghoa sendiri, ada delapan pembelajaran penting. Pertama adalah bakti (Xiao), kedua adalah persaudaraan (Ti), lalu kesetiaan (Zhong), dapat dipercaya (Xin), Kesusilaan (Li), Kebenaran (Yi), Sederhana (Lian), dan Tahu Malu (Chi). Kalau kita mampu menjalankan delapan ajaran seperti ini.. saya yakin sekali kita akan jadi orang luar biasa!
 


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN UNGKAPKAN PENDAPAT ANDA TENTANG ARTIKEL INI.

NO SARA
NO PORNOGRAFI
NO SPAM
NO LINK ON
NO LINK OFF

JANGAN LUPA UNTUK SELALU MEMBAGIKAN ARTIKEL INI KE JEJARING SOSIAL YANG ANDA SUKA YA :)