Sabtu, 04 Januari 2014

Revolusi Itu di Depan Mata

Pada pertengahan Agustus 2013 lalu saya berkesempatan mengunjungi Amerika Serikat (AS) dalam rangka liburan dan mengantarkan putra bungsu melanjutkan sekolah di De Anza College, San Jose, California.


Selama di sana kami disambut hangat, dijemput, dan diantar seorang kawan lama, Yudi, yang sudah lama bermukim di sana. Saat berkendara di highway, melintas sebuah mobil sport mewah berwarna merah yang bentuknya indah sekali. “Wau… kereeen!” seru kami bersamaan.

“Itu mobil yang sedang in di sini, Pak Andrie. Namanya Tesla Roadster. Seratus persen memakai tenaga listrik, tanpa bahan bakar minyak sama sekali. Sekarang kalau mau beli harus antre dan inden 10 bulan lho. Padahal harganya 100.000 dolar atau sekitar lebih dari Rp1 miliar kurs sekarang ya,” sang teman bercerita penuh semangat. “Cukup di-charge selama tiga jam, bisa jalan sampai 244 mil atau sekitar 390 kilometer dengan kecepatan maksimum 200 km/jam. Hebat ya,” lanjutnya tanpa jeda.

Sejak awal, desain rancangan mobil bertenaga listrik ini sudah menjadi perbincangan berbagai kalangan sebagai bentuk mobil ramah lingkungan yang menjanjikan. Tahun 2006, desain mobil ini meraih Global Green 2006 karena konsep emisi gas buang nolnya. Setahun berikutnya meraih 2007 Index Design dengan alasan yang sama. Pada tahun 2008, mulailah produksi dan penjualan massal dilakukan. Hasilnya seperti telah diduga, sukses luar biasa.

**

Saya lalu membayangkan 5-10 tahun mendatang, di mana mobil listrik sudah tersedia dalam jumlah banyak dan murah dengan pilihan yang beragam. Orang tidak lagi bergantung pada BBM (Bahan Bakar Minyak). Pemilik mobil tidak lagi antre di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) karena cukup dengan mencolokkan charger mobilnya ke soket listrik di rumah, baterai mobil sudah bisa diisi dan mobil siap dikendarai. Sepuluh tahun mendatang teknologi ini bisa saja diterapkan juga untuk kendaraan lain seperti kapal laut, kereta api, pesawat terbang, alat-alat berat, dan sebagainya. Ini menjanjikan revolusi yang luar biasa.

CEO Tesla, Elon Musk, malah sudah mengemukakan konsep ke depan, yakni kereta api listrik dengan memadukan tenaga listrik dan magnet. Kereta yang desainnya disebut “Hyperloop” ini akan melaju dalam tabung raksasa, tanpa menggunakan rel, tapi mengambang di dalam tabung. Pada saat peluncuran desain “Alpha” 12 Agustus 2013, bisa dibayangkan, perjalanan antara Los Angeles (LA) – San Francisco (SF) yang saat ini ditempuh dengan mobil dalam waktu enam jam, dengan Hyperloop cukup ditempuh dalam waktu 35 menit, dengan rata-rata kecepatan 952 km/jam. Padahal wahana kereta ini bisa mencapai top speed 1.220 km/jam. Masalahnya adalah biaya investasinya yang tinggi.

Musk dkk. mengajukan anggaran 6 miliar dolar jika Hyperloop hanya untuk penumpang dan 7,5 miliar dolar jika mengangkut mobil juga.

Sudah pasti, perkembangan kendaraan listrik ini setelah mendunia akan berdampak langsung pada ekonomi negara-negara penghasil minyak. Mereka bisa kehilangan kedigdayaannya. Selain itu, teknologi ini juga akan mirip seperti teknologi digital yang menghancurkan teknologi analog semisal CD yang mengakhiri zaman keemasan kaset, film (negative photo) diganti foto digital, mesin tik “dihabisi” komputer, dan sejenisnya.

Sejumlah negara, termasuk Indonesia, diam-diam juga sedang mengembangkan teknologi mobil listrik. Ini kesempatan besar bagi Indonesia untuk jadi negara produsen, bukan lagi sekadar negara konsumen seperti sekarang ini.

Di Indonesia sendiri, dari sejumlah prototype yang sudah diperlihatkan—termasuk uji coba kendaraan yang dikendarai Menteri BUMN Dahlan Iskan beberapa waktu lalu—terlihat kita punya potensi untuk menciptakan industri mobil listrik. Dahlan Iskan menyebutkan, butuh waktu 15 tahun bagi Indonesia untuk bisa berperan di industri mobil listrik dunia. Tentu ini membutuhkan kerjasama semua pihak, terutama dukungan pemerintah, kalangan industri otomotif, dan para ahli terkait. Kesempatan telah terbuka. Sekarang pilihan ada di tangan kita, ingin tetap menjadi negara konsumen atau jadi negara produsen. Memang tidak mudah menjadi negara produsen, tetapi lebih baik jadi negara produsen meskipun tidak mudah. Semua membutuhkan tekad kuat dan proses untuk merealisasikannya. Selamat berjuang!

Salam sukses luar biasa!

Sekian Artikel dari ILMU 212 semoga dapat bermanfaat bagi para pembacanya. dan saya selalu berharap bahwa Artikel yang saya Postkan ini dapat berguna bagi semua orang Amin.
sampai jumpa lagi di Artikel Berikutnya. 




Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN UNGKAPKAN PENDAPAT ANDA TENTANG ARTIKEL INI.

NO SARA
NO PORNOGRAFI
NO SPAM
NO LINK ON
NO LINK OFF

JANGAN LUPA UNTUK SELALU MEMBAGIKAN ARTIKEL INI KE JEJARING SOSIAL YANG ANDA SUKA YA :)