Selasa, 25 September 2012

Peneliti USU Buat Alat Pendeteksi Diabetes Lewat Tiupan Napas


Para penderita diabetes mellitus bakal tak perlu lagi mengeluarkan darah untuk mengetahui kadar gulanya.
Mereka cukup mengembuskan napas ke arah alat pendeteksi dan alat sensor pun langsung mendeteksi lalu 10 detik kemudian terbaca hasilnya.

Alat ini buatan tim peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara (USU) yang dipimpin oleh Tulus Ikhsan Nasution.
Dia mendasarkan penelitian ini pada kadar aseton di dalam darah, yang saling berkorelasi ketika penderita diabetes mengembuskan napas.
“Napas penderita diabetes yang mengandung aseton dan napas yang tidak mengandung aseton akan terbaca oleh alat ini,” kata Tulus, yang sedang menjalani studi doktoral bidang material engineering di Universitas Sains Malaysia.

Awalnya, dia mengamati beberapa dokter yang merawat pasien diabetes dan memeriksa urine untuk mengetahui kadar asetonnya. Biasanya penderita diabetes kronis, yang tidak mengkonsumsi obat-obatan secara teratur, memiliki kadar aseton dalam darah yang cukup tinggi, sehingga napasnya berbau aseton.
Dari pengamatan itu, dia bersama koleganya membuat alat pengganti glukometer, yang biasa digunakan penderita diabetes. Glukometer menggunakan jarum untuk mengambil sampel darah pasien.
Cara kerja alat yang terbuat dari bahan green material itu sangat mudah. Pasien cukup meniupkan napasnya lewat ujung alat yang berbentuk seperti pipa itu. Udara yang ditiup kemudian memasuki suatu ruang uji napas atau testing chamber berukuran 4 x 4 x 5 sentimeter.
Udara yang masuk ditangkap oleh sebuah sensor yang peka terhadap udara yang mengandung aseton dan udara tanpa aseton. Sensor ini bekerja dengan mengeluarkan sinyal listrik, yang kemudian diubah ke dalam satuan angka kadar gula darah, persis seperti alat ukur glukometer.
Pada uji laboratorium yang dilakukan Tulus dan timnya, terlihat bahwa perbedaan napas orang normal jauh berbeda dengan napas manusia yang mengandung aseton sebanyak 0,01 cc.
“Grafik hasil pengujian sensor terhadap gas aseton maupun pembandingnya, yakni napas tanpa aseton dan udara di alam bebas, memperlihatkan perbedaan,” kata dia.
Untuk menciptakan alat sensor ini, Tulus menghabiskan waktu 2 tahun 6 bulan di Malaysia dan di Universitas Sumatera Utara. Berulang kali dia mencoba bahan yang tepat.
“Di Tanah Air, baru saya menemukan bahan dari tumbuh-tumbuhan yang sensitif,” ujar peraih master bidang penelitian sensor dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini.
Kendati masih menunggu uji klinis resmi, alat ini mampu mendeteksi kadar aseton pada napas yang ditiupkan ke dalam testing chamber. Untuk membuat alat ini, dia dibantu sejumlah mahasiswa dan dosen, antara lain Maizal Isnen (pabrikasi sensor); Oki Handinata (konstruksi sistem sensor); dr Krista Sebayang (kajian bahan sensor); dan Dekan Fakultas MIPA, dr Sutarman, yang mengembangkan software data.
“Alat ini akan diuji klinis di fakultas kedokteran agar bisa diluncurkan untuk kepentingan medis,” ujar Sutarman. Pihaknya juga akan mengajukan hak paten dan merampingkan ukuran testing chamber.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Profesor Guslihan Dasa Tjipta, mengakui temuan Tulus dan kawan-kawan ini merupakan hal baru.
“Prinsip kerja alat ini bisa diterima,” kata dia. Pihaknya sedang menyiapkan sejumlah ahli endokrinologi untuk melakukan uji klinis terhadap alat tersebut.



Artikel Terkait: