Jumat, 19 Oktober 2012

DUA WAKTU TIDUR YANG DILARANG RASUL


Tidur menjadi sesuatu yang esensi dalam kehidupan kita. Karena dengan tidur, kita menjadi segar kembali. Tubuh yang lelah, urat-urat yang mengerut, dan otot-otot yang dipakai beraktivitas seharian, bisa meremaja lagi dengan melakukan tidur.
Dalam Islam, semua perbuatan bisa menjadi ibadah. Begitu pula tidur, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam Al-Quran, Allah swt pun menyuruh kita untuk tidur. Namun, ternyata ada dua waktu tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk tidak dilakukan.

1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh
Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya” (HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang shalih – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).
2. Tidur Sebelum Shalat Isya’
Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).
Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja.”
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat.” (sa/berbagai sumber)

sumber lain

Hukum Tidur Setelah Shubuh

حكم النوم بعد الفجر وبعد العصر
Hukum Tidur Setelah Subuh dan Setelah Ashar
السؤال : هل هناك حكم يتعلق بالنوم بعد الفجر؟
Pertanyaan, “Apa hukum tidur lagi setelah shalat hubuh?
الجواب :
الحمد لله
بالنسبة للنوم بعد صلاة الإنسان للفجر ، فلم يرد نص يمنع منه ، فهو باق على الأصل وهو الإباحة .
Jawaban, “Untuk tidur lagi setelah seorang itu mengerjakan shalat shubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya sehingga hukum tidur setelah shalat subuh adalah sebagaimana hukum asal semua perkara non ibadah yaitu mubah.
ولكن كان من هدي النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه أنهم إذا صلوا الفجر جلسوا في مصلاهم حتى تطلع الشمس ،
Akan tetapi yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat adalah setelah mereka melaksanakan shalat subuh mereka duduk di masjid hingga matahari terbit.
كما ثبت في ” صحيح مسلم 1/463 رقم 670 ” من حديث سماك بن حرب قال : ( قلت لجابر بن سمرة أكنت تجالس رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟
Dari Sammak bin Harb, aku bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah anda sering menemani duduk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
قال : نعم ، كثيراً ، كان لا يقوم من مصلاه الذي يصلي فيه الصبح – أو الغداة – حتى تطلع الشمس ، فإذا طلعت الشمس قام ؛ وكانوا يتحدثون ، فيأخذون في أمر الجاهلية ، فيضحكون ويتبسم .
Jawaban Jabir bin Samurah, “Ya, sering. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan tempat beliau menunaikan shalat shubuh hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit maka beliau pun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Terkadang para sahabat berbincang-bincang tentang masa jahiliah yang telah mereka lalui lalu mereka tertawa-tawa sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan hal tersebut” [HR Muslim].
وأيضا فقد سأل النبي صلى الله عليه وسلم ربه أن يبارك لأمته في بكورها ،
Di samping itu Nabi berdoa kepada Allah agar Allah melimpahkan keberkahan untuk umatnya di waktu pagi.
كما في حديث صخر الغامدي قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( اللهم بارك لأمتي في بكورها )
Dari Shakhr al Ghamidi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi”.
قال : وكان إذا بعث سرية أو جيشاً بعثهم في أول النهار ، وكان صخراً رجلاً تاجراً ، وكان يبعث تجارته أول النهار ، فأثرى وأصاب مالاً .
Skakhr al Ghamidi, “Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengirim pasukan perang adalah mengirim mereka di waktu pagi”.
Shakhr al Ghamidi adalah seorang pedagang. Kebiasaan beliau jika mengirim ekspedisi dagang adalah memberangkatkannya di waktu pagi. Akhirnya beliau pun menjadi kaya dan mendapatkan harta yang banyak.
خرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه بإسناد فيه جهالة ، وجاء ما يشهد له من حديث علي وابن عمر وابن عباس وابن مسعود وغيرهم – رضي الله عنهم جميعاً -
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah namun ada salah satu perawi yang tidak diketahui. Akan tetapi hadits ini memiliki penguat dari Ali, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dll.
ومن هنا كره بعض السلف النوم بعد الفجر ،
Bertitik tolak dari hal di atas, sebagian ulama salaf membenci tidur setelah shalat subuh.
فقد أخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/222 رقم 25442 ) بإسناد صحيح عن عروة بن الزبير أنه قال : كان الزبير ينهى بنيه عن التصبح ( وهو النّوم  في الصّباح ) ،
Dari ‘Urwahin bin Zubair, beliau mengatakan, “Dulu Zubair melarang anak-anaknya untuk tidur di waktu pagi
قال عروة : إني لأسمع أن الرجل يتصبح فأزهد فيه.
Urwah mengatakan, “Sungguh jika aku mendengar bahwa seorang itu tidur di waktu pagi maka aku pun merasa tidak suka dengan dirinya”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25442 dengan sanad yang sahih].
والخلاصة أن الأولى بالإنسان أن يقضي هذا الوقت فيما يعود عليه بالنفع في الدنيا والآخرة ، وإن نام فيه ليتقوى على عمله فلا بأس ، لا سيما إذا كان لا يتيسر له النوم في غير هذا الوقت من النهار ،
Kesimpulannyayang paling afdhol adalah menggunakan waktu pagi untuk aktivitas yang bermanfaat di dunia ataupun di akherat. Namun jika ada seorang yang memilih untuk tidur di setelah shalat subuh agar bisa bekerja dengan penuh vitalitas maka hukumnya adalah tidak mengapa, terutama jika tidak memungkinkan bagi orang tersebut untuk tidur siang dan hanya mungkin tidur di waktu pagi.
وخرج ابن أبي شيبة في مصنفه ( 5/223 رقم 25454 ) من حديث أبي يزيد المديني قال : غدا عمر على صهيب فوجده متصبّحاً ، فقعد حتى استيقظ ، فقال صهيب : أمير المؤمنين قاعد على مقعدته ، وصهيب نائم متصبّح !! فقال له عمر : ما كنت أحب أن تدع نومة ترفق بك .
Dari Abu Yazid al Madini, “Pada suatu pagi Umar pergi ke rumah Shuhaib namun Shuhaib sedang tidur pagi. Umar pun duduk menunggu sehingga Shuhaib bangun”. Ketika bangun Shuhaib berkomentar, “Amir mukminin duduk menunggu sedangkan Shuhaib tidur pagi”. Umar mengatakan, “Aku tidak suka jika kau tinggalkan tidur yang bermanfaat bagimu”. [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 25454].
وأما النوم بعد العصر فهو جائز ومباح أيضاً ، ولم يصحّ عن النبي صلى الله عليه وسلم نهي عن النوم في هذا الوقت .
Sedangkan tidur setelah shalat Ashar hukumnya adalah juga mubah. Tidak terdapat hadits shahih dari Nabi yang berisi larangan tidur setelah Ashar.
وأما ما ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ” من نام بعد العصر فاختلس عقله فلا يلومن إلا نفسه ” فهو حديث باطل لا يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم انظر : ” السلسة الضعيفة ، رقم : 39 “ والله أعلم .
Sedangkan hadits dengan redaksi, “Barang siapa yang tidur setelah shalat Ashar lalu akalnya rusak maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” adalah hadits dengan kualitas bathil, tidak shahih dari Nabi. Silahkan simak penjelasan tentang kelemahan hadits tersebut di Silsilah Shahihah no 39
Sumber:
http://www.islam-qa.com/ar/ref/2063

sumber lain

Hukum Tidur Sesudah 'Ashar dan Kedudukan Hadits yang Melarangnya

Soal:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz, Apa hukumnya tidur setelah shalat 'Ashar? Dan bagaimana hadits yang mengatakan tidak boleh tidur selepas Ashar karena akan gila?
Pembaca voa-islam.com
(Pertanyaan Melalui HP)  

Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabatyang menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
 عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar," tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."           
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari 'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali (2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata: Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’. Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan (53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan) membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari ‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas (sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)

Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama, hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh. Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was. (Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 5/339)
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah (3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma pernah melihat anaknya tidur pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang) tidur pada saat dibagi rizki?". . .  dan sebagian ulama salaf berkata: "Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada' al-Albab (2/357), Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih (3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar (1/99).

Pendapat kedua: Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas, berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis, banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu, renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan keilmuan Khalaf (generasi belakang). Selesai keterangan dari beliau."

Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah (26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah 'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.

Pendapat Rajih
Nampaknya pendapat kedua inilah yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang menerangkan akan larangan itu tidak shahih. Sementara keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i. Yakni pada zaman dahulu masyhur di kalangan bangsa Arab dan para tabib terdahulu, tidur sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan  bisa membahayakan fisik, maka mereka memakruhkan orang-orang tidur sesudah 'Ashar supaya badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada sunnah atau tasyri'. Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau ahli kesehatan, jika benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan maka seseorang tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya. Sementara syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu. Wallahu Ta'ala a'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam





Artikel Terkait: