HUKUM POLIGAMI
Syaikh bin Baz mengatakan [Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz] :
Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, karena firmanNya “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa : 3]
Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfaat besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri. Berpoligami itu mengandung banyak maslahat yang sangat besar bagi kaum laki-laki, kaum wanita dan Ummat Islam secara keseluruhan. Sebab, dengan berpoligami dapat dicapai oleh semua pihak, tunduknya pandangan (ghaddul bashar), terpeliharanya kehormatan, keturunan yang banyak, lelaki dapat berbuat banyak untuk kemaslahatan dan kebaikan para istri dan melindungi mereka dari berbagai faktor penyebab keburukan dan penyimpangan.
Tetapi orang yang tidak mampu berpoligami dan takut kalau tidak dapat berlaku adil, maka hendaknya cukup kawin dengan satu istri saja, karena Allah berfirman “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. [An-Nisa : 3]
TAFSIR AYAT POLIGAMI
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Dalam ayat yang pertama disyaratkan adil tetapi dalam ayat yang kedua ditegaskan bahwa untuk bersikap adail itu tidak mungkin. Apakah ayat yang pertama dinasakh (dihapus hukumnya) oleh ayat yang kedua yang berarti tidak boleh menikah kecuali hanya satu saja, sebab sikap adil tidak mungkin diwujudkan ?
Mengenai hal ini, Syaikh bin Baz mengatakan [Fatawa Mar'ah. 2/62] :
Dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama tidak dinasakh oleh ayat yang kedua, akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah. Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian” [An-Nisa : 129]
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a: “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
KERIDHAAN ISTRI TIDAK MENJADI SYARAT DI DALAM PERNIKAHAN KEDUA
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz : Majalah Al-Arabiyah, edisi 168] :
Jika realitasnya kita sanggup untuk menikah lagi, maka boleh kita menikah lagi untuk yang kedua, ketiga dan keempat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anda untuk menjaga kesucian kehormatan dan pandangan mata anda, jikalau anda memang mampu untuk berlaku adil, sebagai pengamalan atas firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” [An-Nisa : 3]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi benteng baginya” [Muttafaq ‘Alaih]
Menikah lebih dari satu juga dapat menyebabkan banyak keturunan, sedangkan Syariat Islam menganjurkan memperbanyak anak keturunan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kawinilah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi umat-umat yang lain dengan bilangan kalian pada hari kiamat kelak” [Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban]
Yang dibenarkan agama bagi seorang istri adalah tidak menghalang-halangi suaminya menikah lagi dan bahkan mengizinkannya. Selanjutnya hendak kita berlaku adil semaksimal mungkin dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya terhadap istri-istri kita. Semua hal diatas adalah merupakan bentuk saling tolong menolong di dalam kebaikan dan ketaqwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman “Dan saling tolong menolong kamu di dalam kebajikan dan taqwa” [Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan Allah akan menolong seorang hamba selagi ia suka menolong saudaranya” [Riwayat Imam Muslim]
Anda adalah saudara seiman bagi istri anda, dan istri anda adalah saudara seiman anda. Maka yang benar bagi anda berdua adalah saling tolong menolong di dalam kebaikan. Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih bersumber dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang menunaikan keperluan saudaranya, niscaya Allah menunaikan keperluannya”
Akan tetapi keridhaan istri itu bukan syarat di dalam boleh atau tidaknya poligami (menikah lagi), namun keridhaannya itu diperlukan agar hubungan di antara kamu berdua tetap baik.
BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM
Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” [An-Nisa : 3]
Syaikh bin Baz mengatakan [Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]
:
:
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.
Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari’atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik” [Al-Ahzab : 21]
Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.
Sumber :
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq
sumber lain
Hukum Poligami, Syarat Sah Poligami, Jumlah Yang Dibolehkan, Dan Pertimbangan – Pertimbangan Sebelum Poligami Serta Wajibnya Bagi Suami Memberi Masing-Masing Istri Sebuah Rumah
Posted: 13 September 2011 in PoligamiKaitkata:Hukum Poligami, Istri, Jumlah Wanita Yang Dibolehkan, Masing-Masing, Mengikuti
Hukum Poligami
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?
Beliau menjawab, “Tidak sunnah, tetapi mubah (boleh)”.
Sesungguhnya..di anjurkan atau tidaknya poligami itu hanyalah bagi seorang suami yang berkesanggupan untuk berlaku adil atas istri-istrinya. Sebagaimana Firman ALLAH Ta’ala :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. An-Nisa: 3
Namun..wahai hamba-hamba ALLAH..ketahuilah olehmu bahwasanya sekalian ilmu yang meninggikan derajatmu disisi ALLAH Ta’ala di antara sekalian hamba-hamba-Nya yang lain adalah menurut ilmu yang ada pada dirimu dengan sekalian perkara atas apa-apa yang terdapat didalam hatimu. Ingatlah..bahwa sesungguhnya ilmu itu beragam corak danwarnanya, dan barang siapa yang beroleh nikmat ALLAH Ta’ala dengan menguasai penuh atas salah satu ilmu sahaja, niscaya amat terpujilah ia karena ALLAH Ta’ala telah memberikannya nikmat yang banyak. Yang sedemikian inilah adalah aku menyebutnya sebagai ilmu yang beragam corak dan warnanya bagi hati manusia, yaitu Ilmu Sabar, Ikhlas, Bijaksana, Adil dan lain sebahagainya, sedang sekalian ilmu-ilmu itu disempurnakan dengan aqidah dan keimanan serta ketaqwaan kepada Rabb Semesta Alam dan tiadalah serta merta pada ilmu adil atau yang lain itu semata.
Syarat Sah Poligami
Adil adalah syarat disahkannya poligami atas para suami yang beroleh kesanggupan dengan sekalian kemampuannya.
Akan tetapi, ketahuilah..bahwasanya adalah suatu kewajiban bagimu untuk meminta restu pada istrimu yang tertua dari sisimu, jikalaulah ia faham dan menyetujui akan engkau yang hendak beroleh istri yang lain selain daripadanya, maka kerjakanlah barang kehenedak yang ada dalam hatimu. Kemudian jikalaulah engkau sudah beroleh anak dengan istri tertua yang berada disisimu sedang mereka sudah balig (Dewasa), maka mintalah keridhoan atas mereka agar tiada suatu juapun yang perkaranya bersifat aniya antara yang satu dengan yang lain. Sedang jika anak yang engkau miliki dengan istri tertuamu masih belum balig (dewasa) maka cukuplah bagimu meminta izin dari ibu mereka saja.
Dan jika salah satu di antara mereka ibu dan anak (istri dan anak-anakmu) tiada ridho atas keinginanmu, maka tinggalkanlah karena ALLAH Ta’ala semata. Sabarlah serta bertawakkallah kepada ALLAH Ta’ala, yang sedemikian itu adalah jalan yang terlebih baik bagimu daripada aniaya. Dan janganlah sekali-kali engkau mengambil jalan yang lain daripadanya, yang menyebabkan engkau beroleh murka ALLAH karenanya. yaitu adalah engkau bermain – main dengan perempuan yang lain sedang kamu bersembunyi di belakang istrimu (selingkuh) dalam perzinahan yang diharamkan atas kamu. Dan jangan pulalah salah seorang juapun di antara kamu mengambil jalan lain dengan menceraikan istrimu agar kiranya engkau dapat bersuka ria dengan wanita yang lain. Takutlah kamu kepada ALLAH dengan sebenar-benar takut, dan kepada-Nyalah tempat kamu kembali. Sesungguhnya ALLAH Ta’ala Maha Mengetahui lagi menjadi saksi atas apa-apa yang engkau sembunyikan.
Mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Jikalaulah dalam perkara yang sedemikian ini (poligami), adalah engkau hendak mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Maka ketahuilah..bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam tiadalah pernah baginya mengambil istri yang lain semasa hidupnya istri beliau yang pertama (khadijah), sedang setelah wafatnya khadijahlah kemudian beliau memadu istrinya yang lain, perempuan dalam tawanan perang, atau perempuan yang hatinya berkeinginan terhadap Nabi, atau para sahabat yang berkehendak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan nabi lalu para sahabat berkehendak agar beliau mengawinkan putri mereka yang sudah janda, demikian jua adanya seumpama Abu Bakar yang agar kiranya hubungan kekerabatan antara beliau dengan Rasulullah lebih dekat, hingga kemudian beliau meminta Rasulullah berkenan mengawini putrinya Aisyah apabila telah balig (cukup usia), sedang selain daripada Aisyah Radhiallahu ‘anhu semuanya adalah janda.
Demikian pula dengan Imam Ali Bin Abu Thalib, yang hendak mengumpulkan putri Rasulullah Fatimah Azzahra dengan wanita yang lain.
“Diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ra : ‘Ali bin Abi Thalib ra. melamar anak perempuan Abu Jahal, sedangkan waktu itu dia adalah suami Fathimah, putri Nabi. Sewaktu mendengar lamaran Ali, Fathimah pergi menemui Nabi saw seraya berkata:
‘Sesungguhnya kaummu berbicara bahwa engkau tidak pernah marah karena putri-putrimu. Aku memberitahukan bahwa Ali hendak menikah dengan putri Abu Jahal.’
Berkata Miswar: Kemudian Nabi saw. berdiri. Aku mendengarnya membaca tasyahud, lalu berkata:
“Amma ba’du. Sesungguhnya aku menikahkan Abu’l Ash bin Rabi’. Dia berbicara kepadaku dan dia membenarkanku. Dan sesungguhnya, Fathimah binti Muhammad adalah segumpal dagingku. Dan aku benar-benar tidak suka kalau mereka memfitnahnya. Demi Allah, sesungguhnya tidak boleh berkumpul putri Rasulullah dengan putri musuh Allah pada seorang suami selama-lamanya.” Kemudian Ali Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan lamarannya. (Shahih HR. Muslim 7 : 142)
Kemudian dalam riwayat yang lain, setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendengar kabar itu, beliau berkata kepada Imam Ali Bin Abu Thalib Radhiallahu ‘Anhu :
“Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku dan aku mengkhawatirkan dia akan terganggu agamanya.” Kemudian Beliau menyebutkan salah seorang menantunya dari bani ‘Abdi Syams (yaitu Utsman bin Affan r.a.), dengan memuji perkawinannya dengan anaknya yang dinilainya baik. Lalu Beliau SAW bersabda : “Menantuku kalau berbicara denganku jujur, kalau berjanji denganku, memenuhinya. Sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, putri Rasulullah tidaklah boleh sama sekali dikumpulkan di satu tempat dengan putri dari musuh Allah selama-lamanya.“(Al-Hadits).
Artinya bahwa sesungguhnya Imam Ali bin Abu Thalib Radhiallahu tiada memadu Fatimah Binti Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan wanita manapun, sedang ia menahan hati dan dirinya. Sampai kemudian setelah Fatimah Az Zahra wafat, beliau lalu memadu wanita sebagai istri beliau antara yang satu dengan yang lain.
Maka wahai hamba – hamba ALLAH yang dimuliakan oleh ALLAH, sanggupkah kiranya engkau berbuat selayak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Imam Ali Bin Abu Thalib Radhiallahu Anhu, yang tiada bagi mereka memaduistri mereka yang pertama sebelum wafatnya??
Dan ingatlah atas peringatan dari ALLAH Ta’ala dalam firman-Nya bagi para suami yang hendak memadu istrinya yang satu dengan yang lain :
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Artinya : Dan kamu sekali-kali tdk akan dpt berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin beruntuk demikian” [An-Nisa : 129]
Karenanya dalam sebuah hadits dari Aisyah Radhiallahu ‘anha bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telahmembagi giliran di antara para istri secara adil, lalu mengadu kpd Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam do’a:
“Arti : Ya Allah inilah pembagian giliran yg mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yg tdk mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
[Fatawa Mar’ah. 2/62]
Pertimbangan-Pertimbangan Sebelum Poligami
Maka..Wahai hamba-hamba ALLAH..adakah kamu telah berkuasa atas salah satu ilmu itu sepenuhnya yaitu tentang adilnya dirimu terhadap dirimu, terhadap orang – orang disekitarmu dan demikian pula halnya terhadap istri-istrimu? Jikalaulah “ya”, maka kerjakanlah, sedang jika tidak atau engkau berada dalam keraguan tentang adilnya dirimu atas istri-istrimu, maka sebaiknya tinggalkanlah..sesungguhnya yang sedemikian itu adalah lebih baik bagimu daripada aniaya sedang sesuatu yang aniaya itu adalah menyakiti yang lain.
Dan kemudian..sanggupkah engkau menjaga kesucian istri-istrimu? Jika “ya” maka kerjakanlah, sedang jika tidak atau engkau berada dalam keraguan perihal tentang yang sedemikian itu..maka sebaiknya tinggalkanlah..
Lalu adakah engkau sanggup memberikan perlindungan atas rasa aman dan nyaman serta membahagiakan hati mereka, sedang engkau tiada akan berbuat sesuatu kerusakan atas diri-diri mereka? Sebab ALLAH Ta’ala tiada menyukai kerusakan. Jika “ya” maka kerjakanlah, sedang jika tidak atau engkau berada dalam keraguan perihal tentang yang sedemikian itu..maka sebaiknya tinggalkanlah..karena yang sedemikian itu adalah tidak lebih dekat daripada yang aniaya, dan aniaya itu adalah suatu dosa yang besar perkaranya. Sedang ALLAH Ta’ala adalah menjadi saksi atas apa-apa yang engkau kerjakan.
Jumlah Yang Dibolehkan Dipoligami
Sesungguhnya ALLAH Tabaraka wa Ta’ala telah memberikan batasan bagimu dalam jumlah istri yang diperkenankan bagimu, yaitu hanya 4 orang saja. Dan barang siapa yang melebihi batasan yang telah ditetapkan ALLAH niscaya ia telah ingkar atas apa-apa yang ALLAH Subhana wa Ta’ala tetapkan atas dirinya.
Sebagaimana Firman ALLAH Ta’ala :
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: berdua, bertiga atau berempat orang. An-Nisa : 3
Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh Firman ALLAH Ta’ala yang lain, yang berbunyi :
وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, dan bukan untuk semua orang mu’min. Al-Ahzaab : 050.
“sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min”, artinya..bahwasanya ALLAH Ta’ala hanya membolehkan seorang suami beroleh lebih dari empat orang istri hanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saja sebagai pengkhususan bagi beliau, sedang sekali-kali tidak bagi ummatnya. Oleh karena ilmu adil, sabar, ikhlas, bijaksana dan yang dimiliki oleh beliau tentulah melebihi para ummatnya, sedang kesempurnaan moral lagi akhlak yang terpuji itu hanyalah milik beliau sekaliannya.
Wajibnya Memberi masing-masing istri Sebuah Rumah Kecuali Jika Mereka Rela Satu Atap,
Demi mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Adalah wajib bagimu memberi masing – masing istrimu sebuah rumah dan tiada di antara istri-istrimu dalam satu atap agar tiada perselisihan dan kecemburuan di antara mereka, kecuali jika istri-istrimu memberi izin atas kamu.
Firman ALLAH Ta’ala :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumah mereka” [Al-Ahzab : 33]
Firman ALLAH Ta’ala yang lain :
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ
“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-Ahzaab : 34]
Artinya bahwa ALLAH Subahana wa Ta’ala menyebutkan bahwasanya sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tiadalah hanya satu saja adanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, setelah ada beberapa orang sahabat yang mengatakan : “Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang satu lagi berkata : “Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka”. Yang satu lagi berkata : “Aku tidak akan mengawini wanita”.
Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau langsung berkhutbah di hadapan para sahabatnya, seraya memuji kepada Allah kemudian beliau bersabda.
“Artinya : Kaliankah tadi yang mengatakan “begini dan begitu ?!”. Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepadaNya. Sekalipun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka, aku shalat malam tapi akupun tidur, dan aku mengawini wanita. Barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari (umat)ku” [Riwayat Al-Bukhari]
Artinya bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberikan ketetapan kepada ummatnya untukmenegakkan sunnah yang berdiri atas beliau, sedang barang siapa yang ingkar atas sunnah beliau niscaya ia beroleh sanksi sebagai orang yang tiada beliau akui sebagai ummatnya.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorangUmmahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita (Istri Nabi) yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyaidua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih.
Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.
Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.
Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”.
Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan”
Catatan.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam Bish Showab.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam Bish Showab.
Sumber : Pandangan penulis (penulis blog) tentang poligami yang merujuk pada keadilan dalam berpoligami, selain pada judul “Wajibnya Memberi masing-masing istri Sebuah Rumah Kecuali Jika Mereka Rela Satu Atap, Demi mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam”, yang disadur dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM
sumber lain
POLIGAMI BUKAN SUNNAH, TETAPI HUKUMNYA JAIZ (BOLEH)
- Apakah Disunnahkan poligami dalam Islam ?
- Sebuah Petikan Tentang Keadilan Salaf
- Peringatan bagi yang Tergesa-gesa
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil [265], Maka (kawinilah) seorang saja [266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An Nisa’ : 4)
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam memenuhi isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
- Apakah Disunnahkan Poligami Dalam Islam ?
Poligami ini disunnahkan bila seorang laki-laki dapat berbuat adil di antara istri-istrinya berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Namun bila kalian khawatir tidak dapat berbuat adil maka nikahilah satu wanita saja” (QS. An Nisa: 3)
Dan juga bila ia merasa dirinya aman dari terfitnah dengan mereka dan aman dari menyia-nyiakan hak Allah dengan sebab mereka, aman pula dari terlalaikan melakukan ibadah kepada Allah karena mereka. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian maka berhati-hatilah dari mereka“. (QS. At Taghabun: 14)
Di samping itu ia memandang dirinya mampu untuk menjaga kehormatan mereka dan melindungi mereka hingga mereka tidak ditimpa kerusakan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Ia mampu pula menafkahi mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Hendaklah mereka yang belum mampu untuk menikah menjaga kehormatan dirinya hingga Allah mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya” . (QS. An Nur:33)
(Dinukil dari “Fiqh Ta’addud Az Zawjaat”, hal. 5)
Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah? beliau menjawab: “Bukan sunnah, akan tetapi hukumnya jaiz (boleh)“.
Sebuah Petikan Tentang Keadilan Salaf
Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah berkata dalam “Al Mushannaf” (4/387): Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud Ath Thayalisi dari Harun bin Ibrahim is berkata: Aku mendengar Muhammad berkata terhadap seseorang yang memiliki dua istri: “Dibenci ia berwudlu hanya di rumah salah seorang istrinya sementara di rumah istri yang lain ia tidak pernah melakukannya“. (Atsar ini shahih)
Selanjutnya beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah dari Abi Muasyir dari Ibrahim tentang seseorang yang mengumpulkan beberapa istri : “Mereka menyamakan di antara istri-istrinya sampaipun sisa gandum dan makanan yang tidak dapat lagi ditakar/ditimbang (karena sedikitnya) maka mereka tetap membaginya tangan pertangan“. (Atsar ini shahih dan Abu Muasyir adalah Ziyad bin Kulaib, seorang yang tsiqah)
Peringatan !!!
Di antara manusia ada yang tergesa-gesa dan bersegera melakukan poligami tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga ia menghancurkan kebahagiaan keluarganya dan memutus ikatan tali (pernikahannya) dan menjadi seperti orang yang dikatakan oleh seorang A’rabi (dalam bait syairnya):
Aku menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Membuat ridla istri yang satu ternyata mengobarkan amarah istri yang lain
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Malam ini untuk istri yang satu, malam berikutnya untuk istri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu
Bait syairnya yang dikatakan A’rabi ini tidak benar secara mutlak, tetapi barangsiapa yang takalluf (memberat-beratkan dirinya) melakukan poligami tanpa disertai kemampuan memberikan nafkah, pendidikan dan penjagaan yang baik, maka dimungkinkan akan menimpanya apa yang dikisahkan oleh A’rabi itu yaitu berupa kesulitan dan kepayahan.
Wallahu A’lam
(sumber dari kitab : Al Intishar lihuhuqil Mu’minat. Karya : Ummu Salamah As Salafiyyah Hal. 154 -. Penerbit darul Atsar Yaman Cet. I Th. 2002. Telah diterjemahkan dengan judul buku : Persembahan untukmu Duhai Muslimah Cet. Pustaka Al Haura’ Yogyakarta)