Sabtu, 04 Januari 2014

Memulai


Dalam berbagai obrolan selesai memberikan seminar, ada satu hal yang sering kali ditanyakan. Sepertinya sepele. Tapi, banyak orang yang merasakan kondisi yang kurang nyaman dengan satu hal ini. Kondisi tersebut adalah kondisi saat ingin memulai sesuatu. Apalagi bagi yang hendak menjalankan sebuah usaha baru. Ketakutan gagal dan bangkrut, ketika bertemu dengan hitung-hitungan angka yang “pesimis”, membuat langkah orang segera surut. Belum mulai, sudah lari. Belum berjuang, sudah kalah duluan.

Apa sebenarnya yang membuat seseorang “lari” sebelum memulai “perlombaan”? Satu hal yang pasti, adalah kondisi ketidaksiapan. Seseorang yang mengalami krisis kepercayaan diri biasanya malas—bahkan takut—untuk memulai. Karena itu, untuk memulai, sesungguhnya yang paling dasar adalah soal kesiapan. Meski, kadang justru saking siapnya yang muncul justru ketakutan lagi! Akibatnya, satu langkah untuk memulai saja sudah seperti momok yang siap menelan segala harapan.

Dan memang, persiapan matang dan perencanaan yang detail saja ternyata belum cukup. Butuhstarting point yang muncul dari dalam diri untuk memulai sesuatu dengan kesiapan yang lebih. Starting point itu menurut pengalaman saya adalah rasa bersyukur

Dalam bahasa Jawa, “memulai” itu disebut sebagai wiwit. Ini mengingatkan saya pada sebuah tradisi masyarakat pedesaan di Jawa, terutama ketika mereka hendak memanen hasil sawah di ladangnya. Ada sebuah budaya yang sudah turun-temurun, yakni “upacara” bernama wiwitan. Sebelum memanen hasil sawah, para petani akan berkumpul untuk berdoa bersama. Mereka bersyukur atas karunia Yang Mahakuasa atas keberkahan yang diberikan, sehingga mendapat hasil panenan yang berlimpah.

Dalam upacara ini, kemudian mereka beramai-ramai makan nasi sederhana yang dinamakan sego wiwit. Ini adalah nasi khas yang dibungkus dengan daun pisang atau pincuk. Lauknya pun biasanya sederhana, hanya sambal (biasanya sambal tomat dan kacang tolo) ditambah telur, irisan ayam atau ikan teri yang disajikan hangat-hangat. Karena dimakan bersama-sama, ini memberikan nuansa syukur yang luar biasa. Bersamaan sebelum panen padi, acara wiwitan ini benar-benar menyajikan kegembiraan memulai panen yang tiada duanya.

Di sinilah nilai keagungan wiwitan alias bagaimana memulai. Yakni, sebelum memulai sesuatu, seseorang diajarkan untuk bersyukur terlebih dahulu. Dan, tidak lupa pula untuk saling berbagi kegembiraan. Setelah mengucap doa atas karunia-Nya, satu sama lain akan saling memberikan perhatian dan ketulusan, untuk berbagi rasa bahagia.

Inilah konsep wiwit atau memulai yang paling mendasar. Yakni, untuk melakukan sesuatu, selain butuh kesiapan, juga perlu membekali diri dengan rasa syukur dan kemauan untuk berbagi dengan sesama. Sebesar apa pun tujuan, sehebat apa pun perencanaan, ketika syukur sudah dijadikan landasan utama, maka takut dan keraguan akan lebih mudah sirna. Sebab, kita tahu pasti, ada “kuasa” di balik semua yang akan kita jalani.  Sehingga, ketika sudah bekerja, bergerak, berjuang, hasil apa pun yang diraih tak lagi jadi tujuan utama, melainkan hanya “bonus” berupa kegembiraan yang bisa dibagi dan bisa terus disyukuri. Jika hasilnya maksimal, kita akan makin bersyukur. Jika belum mencapai hasil yang didamba, hati dan jiwa pun tak lagi mudah tersungkur. Sehingga, semangat untuk terus wiwit atau bangkit memulai lagi akan mudah didapat.

Mari, kita semangati diri dengan wiwit untuk melakukan apa pun yang terbaik sesuai dengan peran dan tugas kita masing-masing. Salam sukses, luar biasa!!!


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN UNGKAPKAN PENDAPAT ANDA TENTANG ARTIKEL INI.

NO SARA
NO PORNOGRAFI
NO SPAM
NO LINK ON
NO LINK OFF

JANGAN LUPA UNTUK SELALU MEMBAGIKAN ARTIKEL INI KE JEJARING SOSIAL YANG ANDA SUKA YA :)