Minggu, 25 November 2012

MENGAPA IRAN TAK SERANG ISRAEL ?

" MENGAPA IRAN TAK SERANG ISRAEL ? "
Oleh: Dina Y. Sulaeman
Pertanyaan ini sering muncul di dalam berbagai diskusi di dunia
maya, “Kalau Iran betul-betul anti-Israel, mengapa Iran sampai
sekarang tidak jua menyerang Israel?” Pertanyaan ini konteksnya

adalah menuduh Iran omdo (omong doang), bahkan ada yang lebih
parah lagi, menggunakan teori konspirasi, “Ini bukti bahwa ada
kerjasama di balik layar antara Iran dan Israel.”
Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya
kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran
adalah defensive (bertahan, tidak bertujuan menginvasi negara lain).
Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional
(GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS
adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7%
dari GDP atau sebesar 687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun
pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah di sekitar Iran. AS
adalah pelindung penuh Israel dan penyuplai utama dana dan senjata
untuk militer Israel. Bujet militer Israel sendiri, pertahunnya
mencapai 15 M Dollar (dua kali lipat Iran).
Sebelum menjawab ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel’?,
mari kita jawab dulu pertanyaan sebaliknya, mengapa AS dan Israel
tidak jua menyerang Iran? AS sebenarnya tidak berkepentingan
menyerang Iran. Tetapi, Israel berkali-kali meminta AS untuk
menyerang Iran dengan alasan “Iran memiliki nuklir yang mengancam
keselamatan Israel.” Ketika rezim Obama enggan menuruti permintaan
Israel, Israel bahkan mengancam akan menyerang Iran sendirian,
tanpa bantuan AS. Untuk menelaah prospek perang AS+Israel
melawan Iran, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and
International Studies merilis hasil penelitiannya pada bulan Juni
2012. CSIS melakukan kalkulasi bila AS dan Israel menyerang Iran,
antara lain menghitung berapa banyak pesawat pengebom yang
dibutuhkan, berapa banyak bom yang harus dibawa, apa kemungkinan
serangan balasan dari Iran, dan bagaimana cara menghadapinya.
Salah satu kesimpulan yang diambil Cordesman adalah, profil militer
Israel tidak akan mampu melakukan serangan tersebut. Untuk
menyerang Iran, Israel harus mengerahkan seperempat pasukan
udaranya dan semua pesawat tempurnya, sehingga tidak ada pesawat
cadangan untuk berjaga-jaga. Pesawat-pesawat tempur itu harus
melewati perbatasan Syria-Turki sebelum terbang di atas udara Irak
and Iran. Dan wilayah-wilayah tersebut, sangat rawan bagi Israel.
Menurut Cordesman, “Berdasarkan jumlah pesawat yang diperlukan,
proses pengisian bahan bakar yang harus dilakukan sepanjang
perjalanan menuju Iran, serta usaha mencapai target gempuran tanpa
terdeteksi sangatlah beresiko tinggi dan kecil kemungkinan
keseluruhan operasi militer tersebut akan berhasil.”
Dan bahkan jika pesawat tempur Israel berhasil mengebom reaktor
nuklir Iran, pembalasan yang dilakukan Iran akan membawa dampak
yang sangat buruk bagi kawasan Timur Tengah. Cordesman menulis,
“Anda tidak akan ingin tahu seperti apa jadinya Timur Tengah sehari
setelah Israel berupaya menyerang Iran.”
Karena itu, bila Israel berkeras ingin menyerang Iran, Israel harus
menggandeng AS. Tapi, bila AS menyetujui permintaan Israel ini, AS
harus mengerahkan ratusan pesawat dan kapal tempur. Serangan
awal saja sudah membutuhkan alokasi kekuatan yang sangat besar,
termasuk pengebom utama, upaya penghancuran system pertahanan
udara lawan, pesawat-pesawat pendamping untuk melindungi pesawat
pengebom, peralatan perang elektronik, patrol udara untuk menahan
serangan balasan dari Iran, dll. Pada saat yang sama, AS harus
menghalangi Iran agar tidak melakukan aksi apapun di Selat Hormuz.
Bila Iran sampai berhasil memblokir Selat Hormuz, suplai minyak dan
gas dunia akan terhambat dan efeknya akan sangat buruk bagi
perekonomian dunia. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Iran selama ini
justru sangat memperkuat kemampuan militernya demi mengontrol
Selat Hormuz bila terjadi perang. Meskipun, AS juga sudah
mempersiapkan banyak hal untuk menjaga agar Hormuz tetap
terbuka, antara lain dengan menempatkan berbagai perlengkapan
militer di Bahrain, Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, dan UAE. Namun
inipun mengandung ancaman lain. Iran berkali-kali mengancam, bila
wilayahnya diserang, Iran akan melakukan serangan balasan ke semua
negara Arab yang di dalamnya ada pangkalan militer AS. Belum lagi,
Rusia dan China diperkirakan akan ikut campur demi mengamankan
kepentingan mereka sendiri di Timteng. Tak heran bila banyak analis
mengungkapkan ramalan bahwa Perang Dunia III akan meletus bila
AS sampai menyerang Iran.
Lihatlah situasinya: bila Israel dan AS menyerang Iran, artinya mereka
keluar dari wilayah mereka sendiri dan harus bersusah-payah
mengusung semua perlengkapan militernya. Lalu, urusan tidak selesai
hanya dengan menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran. Serangan balik
dari Iran, dan posisi geostrategis Iran, sangat memberikan potensi
kekalahan bagi AS dan Israel. Karena itulah, Menhan Leon Panetta
sampai berkata, “Sangat jelas bahwa bila AS melakukan serangan itu,
kita akan mendapatkan akibat buruk yang sangat besar.”
Sekarang mari kita balik: bagaimana seandainya Iran menyerang
Israel? Minimalnya, ada dua versi jawaban yang bisa diberikan
sementara ini.
1. Berdasarkan kalkulasi hard power. Ingat lagi profil militer Iran.
Bisa dibayangkan, berapa banyak senjata yang dimiliki Iran
dengan dana 7 M Dollar pertahun, dibandingkan dengan
banyaknya senjata yang dimiliki AS dengan dana 687 M Dollar
pertahun. Bandingkan lagi dengan kondisi ‘seandainya Israel
menyerang Iran’ seperti yang sudah dianalisis Cordesman di
atas. Kesimpulan yang bisa diambil adalah saat ini, profil
militer Iran memang belum mampu menyerang Israel secara
langsung, begitu juga sebaliknya, Israel juga belum mampu
menyerang Iran secara langsung. Sementara, AS punya hitung-
hitungan lain di luar sekedar menyerang Iran. AS akan
menghadapi kehancuran ekonomi yang sangat parah bila
sampai mengobarkan perang terhadap Iran.
Artinya, kedua pihak saat ini masih dalam posisi sama-sama
bertahan. Itulah sebabnya, retorika Iran selama ini memang selalu
defensif: Iran tidak mengancam akan menyerang, melainkan ‘akan
membalas bila ada yang berani menyerang’. Seandainya Iran dalam
posisi diserang dan membela diri dari dalam negeri (bukan dalam
posisi menyerang dan mengirimkan pasukan ke luar wilayahnya) Iran
sangat mungkin bertahan dan meraih kemenangan, karena memiliki
keunggulan geostrategis. Hanya dengan memblokir Selat Hormuz,
seluruh dunia akan merasakan dampak buruk perang dan bahkan AS
akan bangkrut sehingga tak akan mampu melanjutkan perang.
Sebaliknya, untuk bisa maju perang (=secara ofensif mengirimkan
senjata dan pasukan ke luar wilayahnya), Iran tidak mungkin maju
sendirian. Bila negara-negara Arab, terutama yang berbatasan darat
dengan Palestina, belum siap berjuang, tentu sangat konyol bila Iran
harus mengirim pasukan ke Palestina yang jauhnya 1500 km dari
Teheran. Berapa banyak pasukan, pesawat tempur, dan rudal yang
mampu dikirim oleh Iran yang hanya punya anggaran 7 M Dollar
pertahun? Bila Mesir saja yang pemerintahannya dikuasai Ikhwanul
Muslimin (artinya, seideologi dengan Hamas) masih menutup pintu
perbatasannya dengan Gaza; masih menolak untuk terjun langsung ke
medan pertempuran membela saudara se-harakah mereka, mengapa
Iran yang di-ojok-ojok untuk mengirim pasukan perang? Karena itu,
dari sisi ini, hanya satu kata untuk menilai pertanyaan ‘mengapa Iran
tidak langsung menyerang Israel?’ : naif .
2. Berdasarkan kalkulasi soft power. Sangat mungkin, di atas kertas,
profil militer Iran memang seperti yang diungkapkan di atas. Tapi, bila
diingat lagi percepatan kemajuan teknologi militer yang dicapai Iran
dan statemen beberapa petinggi militer Iran yang menyebutkan
bahwa kemampuan Iran ‘jauh lebih besar dari apa yang terlihat’, ada
aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Iran adalah negara yang
berbasis teologi mazhab Syiah dan meyakini adanya aspek transenden
dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin spiritual mereka
(rahbar). Militer Iran pun berada di bawah wewenang rahbar, yang
sekarang dijabat Ayatullah Khamenei. Iran meyakini bahwa Ayatullah
Khamanei memiliki kemampuan transenden sehingga mengetahui
kapan saat yang tepat untuk maju perang. Orang lain boleh tidak
percaya, tetapi ini adalah urusan rakyat Iran sendiri.
Di sini, pertanyaan mengapa Iran belum juga menyerang Israel secara
langsung (seandainya memang kemampuan militernya sebenarnya
sudah mencukupi) akan mendapat jawaban sederhana saja: karena
belum diizinkan oleh sang Rahbar. Lalu, mengapa Rahbar belum
memberi izin? Silahkan dipikirkan sendiri, dengan mengaitkannya pada
hal-hal yang bersifat ideologis dan relijius; dan hal ini di luar
kapasitas saya untuk menjelaskan.
Intinya, perjuangan melawan Israel bukanlah perjuangan Iran saja. Ini
seharusnya menjadi perjuangan bersama semua negara-negara
muslim. Dan inilah yang terus diupayakan para pemimpin dan ulama
Iran melalui berbagai statemen dan orasinya: membangkitkan
kesadaran dan semangat juang kaum muslimin sedunia; sambil terus
berupaya memperkuat profil militernya. Ini bukanlah omdo (omong
doang), tapi upaya yang memang harus dilakukan sebelum mencapai
kemenangan.
Akan tiba suatu masa ketika kaum muslimin sedunia bangkit bersatu
dan bersama-sama merebut kembali Al Quds dari tangan para
penjajah. Inilah janji Allah dalam QS 17:4-5, “Dan telah kami tetapkan
terhadap Bani Israel di dalam Alkitab: sesungguhnya kalian akan
membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan kalian akan
menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Dan maka
ketika telah tiba apa yang dijanjikan itu, akan kami bangkitkan para
hamba yang perkasa dan memiliki kekuatan besar untuk
mengalahkan kalian. Para hamba itu akan mencari kalian sampai ke
tempat persembunyian kalian dan janji [Allah] itu pasti terjadi.”
dinasulaeman.wordpress.com/2012/11/21/mengapa-iran-tak-serang-israel/#more-1000

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=497992586900513&set=a.358080187558421.91077.201917846507990&type=1&relevant_count=1&ref=nf


Artikel Terkait: