Jumat, 26 Oktober 2012

Hukum Meriwayatkan dan Menyebarkan Hadits Maudhu


Oleh Bahrul Ulum
    Hadits maudhu’ berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar).[i] Kata al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu  telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang dikenai perbuatan) mempunyai arti yang dibuat.

   Berdasarkan pengertian al-Hadits dan al-Maudhu’ ini, dapat disimpulkan bahwa definisi Hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW  baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta. Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir, tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.[ii]
   Hadits maudhu’ ini yang paling buruk dan jelek diantara hadits-hadits dhaif lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri diantara pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.[iii]
   Menamakan hadits maudhu -yang dinegara kita dikenal hadits palsu- dengan sebutan hadits tidak menjadi masalah, dengan sebuah catatan. Diantaranya, ketika menyampaikan hadits tersebut harus diumumkan bahwa ia adalah  hadits palsu. Oleh sebab itu, berdasar istilah yang benar, hadits maudhu’ tidak boleh dikategorikan sebagai hadits walaupun disandarkan kepada hadits dhaif.
Sejarah Kemunculan Hadits Maudhu’
   Masuknya penganut agama lain ke Islam, sebagai hasil dari penyebaran dakwah ke pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor awal dibuatnya hadits-hadits maudhu’. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari mereka memeluk Islam karena benar-benar ikhlas dan tertarik dengan kebenaran ajaran Islam. Namun terdapat juga segolongan dari mereka yang menganut Islam hanya karena terpaksa mengalah kepada kekuatan Islam pada masa itu.
   Golongan inilah yang kemudian senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan kaum muslimin. Kemudian mereka menunggu peluang yang tepat untuk menghancurkan dan menimbulkan keraguan di dalam hati orang banyak terhadap Islam.
   Peluang tersebut terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan (W.35H), yang memang sangat toleran terhadap orang lain. Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) menuturkan, ”Pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi Saw berdirilah bulu roma mereka. Namun setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Ustman bin Affan), apabila mendengar hadits mereka selalu bertanya, dari manakah hadits itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahlsunnah, hadits itu diterima sebagai dalil dalam agama Islam. Dan apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadits itu dotolak”[iv]
   Diantara orang yang memainkan peranan dalam hal ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku memeluk Islam. Dengan berdalih membela  Sayyidina Ali dan Ahlul Bait, ia berkeliling ke segenap pelosok daerah untuk menabur fitnah.
   Ia berdakwah bahwa Ali  yang lebih layak menjadi khalifah daripada Usman bahkan  Abu Bakar dan Umar. Alasannya Ali telah mendapat wasiat dari Nabi s.a.w. Hadits palsu yang ia buat berbunyi: “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Kemunculan Ibnu Saba’ ini disebutkan terjadi pada akhir pemerintahan Usman.
   Untungnya, penyebaran hadits maudhu’ pada waktu itu belum gencar karena masih banyak sahabat utama yang mengetahui dengan persis akan kepalsuan sebuah hadits. Khalifah Usman sebagai contohnya, ketika tahu hadits maudhu’ yang dibuat oleh Ibnu Saba’, beliau langsung mengusirnya dari Madinah. Hal yang sama  juga dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib.
   Para sahabat tahu akan larangan keras dari Rasulullah terhadap orang yang membuat hadits palsu sebagaimana sabda beliau: “Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka dia telah mempersipakan tempatnya di dalam neraka.”[v]
   Meski begitu, kelompok ini terus mencari peluang yang ada, terutama setelah pembunuhan Khalifah Usman. Dari sini muncullah kelompok-kelompok tertentu yang ingin menuntut balas atas kematian Usman dan kelompok yang mendukung Ali, maupun yang tidak memihak kepada kedua kelompok tersebut. Dari kelompok inilah kemudian menyebabkan timbulnya hadits-hadits yang menunjukkan kelebihan kelompok masing-masing untuk mempengaruhi orang banyak.
   Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari  Tawus bahwa pernah suatu ketika dibawakan kepada Ibnu Abbas suatu buku yang di dalamnya berisi keputusan-keputusan Ali. Ibnu Abbas kemudian menghapusnya kecuali sebagian (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah menafsirkan bagian yang tidak dihapus itu sekadar sehasta.
   Imam al-Dzahabi juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr, katanya: “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga  Allah melaknati mereka (yaitu golongan  putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah.
   Menyadari hal ini, para sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadits yang disebarkan oleh seseorang.Mereka tidak akan mudah menerimanya sekiranya ragu akan kesahihan hadits itu. Imam Muslim dengan sanadnya meriwayatkan dari Mujahid (W.104H) sebuah kisah yang terjadi pada diri Ibnu Abbas : “Busyair bin Kaab telah datang menemui Ibnu Abbas lalu menyebutkan sebuah hadits dengan berkata  “Rasulullah telah bersabda”, “Rasullulah telah bersabda ”. Namun Ibnu Abbas tidak menghiraukan hadits itu dan juga tidak memandangnya. Lalu Busyair berkata kepada Ibnu Abbas “Wahai Ibnu Abbas ! Aku heran mengapa engkau tidak mau mendengar hadits yang aku sebut. Aku menceritakan perkara yang datang dari Rasulullah tetapi engkau tidak mau mendengarnya. Ibnu Abbas lalu menjawab : “Kami dulu apabila mendengar seseorang berkata “Rasulullah bersabda”, pandangan kami segera kepadanya dan telinga-telinga kami kosentrasi mendengarnya. Tetapi setelah orang banyak mulai melakukan yang baik dan yang buruk, kita tidak menerima hadits dari seseorang melainkan kami mengetahuinya.”[vi]
   Sesudah zaman sahabat, terjadi penurunan dalam penelitian dan kepastian hadits. Ini menyebabkan terjadinya periwayatan dan penyebaran hadits yang secara tidak langsung turut menyebabkan berlakunya pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian dari sahabat. Ditambah lagi dengan konflik politik umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang bagi golongan tertentu yang coba mendekatkan diri dengan pemerintah dengan cara membuat hadits.
   Sebagai contoh, pernah terjadi pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadits-hadits maudhu’ dibuat demi mengambil hati para khalifah. Diantaranya seperti yang terjadi pada Harun al-Rasyid, di mana seorang lelaki yang bernama Abu al-Bakhtari (seorang qadhi) masuk menemuinya ketika ia sedang menerbangkan burung merpati. Lalu ia berkata kepada Abu al-Bakhtari : “Adakah engkau menghafal sebuah hadits berkenaan dengan burung ini? Lalu dia meriwayatkan satu hadits, katanya: “Bahwa Nabi Shaalaluulahu alai wa salam selalu menerbangkan burung merpati.”  Harun al-Rasyid menyadari kepalsuan hadits tersebut lalu menghardiknya dan berkata: “Jika  engkau bukan dari keturunan Quraisy, pasti aku akan mengusirmu.”[vii]
   Peristiwa seperti ini juga terjadi di zaman Khalifah al-Mahdi (W.169H) di mana ada seorang lelaki bernama Ghiyath bin Ibrahim masuk menemui khalifah yang sedang bermain dengan burung merpati. Lalu Ghiyath meriwayatkan satu hadits kepada khalifah: “Tidak ada pertandingan melainkan pada anak panah atau kuda atau burung.” Dia sebenarnya telah menambah ‘atau burung’ untuk mengambil hati Khalifah al-Mahdi. Diriwayatkan bahwa Khalifah al-Mahdi berkata kepada Ibrahim ketika dia melangkah keluar: “Aku bersaksi bahwa belakang tengkukmu adalah tengkuk seorang pendusta.” Selepas itu khalifah memerintahkan supaya menyembelih burung itu. Pendustaan dalam hadits ini hanya terjadi pada lafaz yang akhir saja (atau burung). Lafaz-lafaz hadits yang lain thabit (sah)  karena diriwayatkan oleh Imam Ahmad (W.241H) dan ashab sunan-sunan yang lain.
   Tahap penyebaran hadits-hadits maudhu’ pada zaman tersebut masih sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya.Ini karena masih banyak para tabiin yang menjaga hadits-hadits dan menjelaskan mana yang lemah dan yang sahih. Ini juga karena zaman mereka masih dianggap hampir sama dengan zaman Nabi SAW dan disebut oleh beliau  sebagai diantara sebaik-baik zaman. Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar dikalangan para tabaiin yang menyebabkan mereka dapat mengetahui kepalsuan sebuah  hadits.
Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
   Umat Islam telah sepakat (ijmak) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum syarak, cerita-cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya.
   Yang menyelisihi ijmak ini adalah sekumpulan ahli bid’ah, di mana mereka mengharuskan membuat hadits-hadits untuk menggalakkan kebaikan (targhib), menakut-nakuti kepada kejahatan (tarhib) dan mendorong kepada kezuhudan. Mereka berpendapat bahwa  targhib dan tarhib tidak  masuk dalam kategori hukum-hukum syarak.
   Pendapat ini jelas salah karena, Rasulullah dengan tegas memberi peringatan kepada orang-orang yang berbohong atas nama beliau seperti sabdanya “Sesungguhnya pembohongan atas namaku tidak seperti pembohongan atas siapapun. Siapa yang berbohong atas namaku, maka dia dengan sengaja menyiapkan tempatnya di dalam neraka”, “Janganlah kamu berbohong atas namaku, karena sesungguhnya orang yang berbohong atasku akan masuk neraka”.[viii]
   Para ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, sepakat  mengharamkan berbohong dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan targhib dan tarhib. Semuanya termasuk dalam salah satu dari dosa-dosa besar. Para ulama telah berijmak bahwa haram berbohong atas nama seseorang, apalagi berbohong atas seorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
   Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahlu Sunnah wal Jamaah berkenaan dengan kedudukan orang yang membuat hadits tersebut, apakah dia menjadi kafir dengan perbuatannya itu dan adakah periwayatannya diterima kembali sekiranya dia bertaubat.  Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa orang yang membuat hadits-hadits maudhu’ tidak menjadi kafir dengan pembohongannya itu, kecuali ia menganggap perbuatannya itu halal.
   Tetapi menurut Abu Muhammad al-Juwaini, ayah Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali (W.478H), salah seorang mazhab Syafie, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan pembohongan tersebut secara sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat ini dianggap lemah oleh Imam al-Haramain sendiri.[ix]
    Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu hadits saja, ia telah menjadi fasik dan riwayat-riwayatnya yang lainnya juga ditolak dan tidak boleh dijadikan hujah. Namun jika ia bertaubat dan taubatnya sungguh-sungguh, sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi (W.219H) (guru Imam Bukhari dan sahabat Imam Syafie), Abu Bakar al-Sairafi (W.330H) (salah seorang fuqaha` mazhab Syafie), ashabul wujuh dalam mazhab Syafie dan fuqaha’ mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi pengaruh  dan riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya itu dijadikan catatan atasnya untuk setrusnya.
   Namun menurut Imam Nawawi (W.677H) pendapat golongan ulama ini lemah karena berlawanan dengan kaidah syarak. Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan riwayatnya boleh diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat taubat yang benar. Pendapat Imam Nawawi ini berdasar pada ijmak ulama yang mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang kafir setelah memeluk Islam dan kebanyakan sahabat dulunya juga kafir, kemudian mereka memeluk Islam dan persaksian mereka  diterima dan tidak ada perbedaan di antara persaksian dan periwayatan.
   Namun yang pasti para ulama berijmak bahwa haram membuat hadits-hadits maudhu’, yang berarti juga haram meriwayatkan atau menyebarkan hadits-hadits maudhu’ padahal ia mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadits-hadits maudhu’ dalam keadaan mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadits tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya, ia termasuk pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam sebuah hadits sahih yang berbunyi: “Barangsiapa yang menceritakan satu hadits dariku dan dia mengira bahwa hadits itu adalah dusta, maka dia termasuk di dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadits agar memastikan kedudukan hadits tersebut.
    Tapi jika meriwayatkan hadits-hadits maudhu’  dan menyebutkan kedudukan hadits tersebut sebagai maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadits tersebut membuat orang bisa bisa membedakan antara hadits yang sahih dengan yang maudhu’ dan sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak benar.[x]
    Dari keterangan di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa hadits maudhu’ merupakan sebuah ancaman besar bagi umat Islam. Hukuman para ulama yang ditujukan kepada pembuat hadits dan penyebarnya, cukup memberi gambaran kepada kita bahwa hal itu merupakan suatu perkara yang harus mendapat  perhatian serius.
    Untuk menghindari terjerumusnya pada perkara yang tidak ringan itu, kaum muslimin hendaknya serius mendeteksi hadits-hadits palsu. Sebab hadits tersebut terus sudah banyak beredar  di kalangan umat Islam khususnya di tanah air. Jika tidak, akan banyak umat Islam yang terpedaya oleh janji-janji kosong yang disebarkan oleh golongan yang tidak bertanggungjawab.


[i] Dr. Muhammad  ’Ijaj Al-Khatib,  Usul al-Hadith, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1421H-2001 M, h. 26-27.
[ii]  Syaikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum al- Hadits, Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria. Cet.ke- I, tahun 1404 H  h. 41
[iii] Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadits  (Terjemahan Mabahis Fi Ulumil    Hadits), Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Cetakan Pertama 2005  h. 145
[iv] Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadits, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. IV 2004  h. 82
[v]  Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhuat fi Kutub al-Tafsir, Cet.ke-I 1988 M/1409 H. Maktabah al-Ilm Cairo, Mesir. h. 20.
[vi] http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=265
[vii] Muhammad Abu Syahbah, op.cit, h. 23.
[viii] Shahih Al Bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapura, tt
[ix] Ibid, h. 67.


Artikel Terkait: