Kamis, 09 Mei 2013

Ketika Futur Menyerbu Qalbuku


“Laa Tahzan.. InnALLAHa ma’anaa..” (Q.S. at-Taubah: 40)
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu..
Inilah sepotong cerita dari ana. Sebuah potret mungil kehidupan.
Untuk antum, Saudaraku.. Semoga bermanfaat.

Bisa jadi, sedih dan nestapa, hambar dan futur, adalah bentuk kerinduan yang nyata dari ALLAH.. Agar kita curhat pada-Nya..
Beberapa hari ini hati ana menyusup, menciut dan menyudut. Menyendiri, sedih dan sendiri. Kiranya piala kaca terpecah-belah, maka kepingannya masih kalah menyedihkan dibanding lempengan hati ini. Entah karena kesibukan perkuliahan yang melelahkan, tugas dan amanah yang kian menekan pundak, atau kondisi tubuh yang sedang sangat tidak bersahabat.
Futur.
Itulah istilah paling tepat yang ana pilihkan untuk menggambarkan keadaan ana belakangan ini.
Kefuturan tengah menghantui jasad dan raja yang menitahkannya (hati). Kerajaan hati ana tengah mengarat dan berkapur. Mengeras dan membeku bagai bangkai Titanic di Altlantik sana. Ah, entahlah. Ada apa dengan ana. Makan tak enak, tidur tak enak. Belajar terhambat, menulis tersendat. Tak ada ekstase. Kelindan yang dulu selalu ana rasakan ketika menulis tiba-tiba lenyap tanpa jejak. Tanpa isyarat dan peringatan.
Ya, beberapa hari lalu ana tengah futur. Mungkin, antum, para pembaca Merajut Kata, tak dapat menyana bahwa ana ‘sedang begitu’, ‘bisa begitu’. Namun rupanya setelah ana berhasil meraih ekstase itu kembali, ana sadar sekali lagi..Penulis juga manusia, bisa bersedih walau sering memotivasi. Bisa salah walau sering berdakwah. Lalu, ketika manusia memutuskan jadi penulis, adalah konsekuensi ia harusmenyetarakan akhlak dan emosinya terhadap apa yang ditorehkannya.

Ana beringsut melihat-lihat file-file tua di komputer. Arsip tulisan yang ada di blog tersayang. Banyak. Sudah lebih dari 100 tulisan ana. Walau belum seberapa dibandingkan tulisan penulis mahir, ana rasa itu sudah lebih dari cukup untuk mencambuk batin ana. Mengubah diri menjadi lebih baik. Atau sedikitnya tidak lebih buruk.
Tiba-tiba saja, ana merasa bahwa bukan ana yang menulis tulisan-tulisan di blog ini. Sebab tak banyak yang ana lakukan untuk memperbaiki diri sendiri. Baik sebelum atau sesudah mengajak manusia ke atmosfir yang lebih baik. Hmph, jika ana sendiri tidak berubah, untuk apa ana menulis?
Rapuh, bingung, marah, sedih, sendiri, dan terpuruk. Semua mengelindan merangkaikan jalinan buhul yang kuat. Buhul itu tersihir menjadi kefuturan yang mencuat ke permukaan.Yang paling parah adalah, ketika ana tidak dapat melembutkan hati. Kenyamanan batin yang biasanya ana rasakan begitu kuat mengakar di rimbunan jalinan syaraf dan qalb ini, hilang.
Ana bahkan tidak dapat menangis, seperti yang biasa ana lakukan saat sedang ada masalah atau bersedih. Ana jadi diam dan murung. Berjalan lamban dan menunduk dalam. Sering ana merebah lemah, memandangi langit-langit di masjid kampus.
Resah.
Itulah yang mungkin turut mendampingi kefuturan ini. Sakit rasanya, ketika kita tahu kita sedang futur, tapi tak tahu bagaimana menangkis kefuturan itu. Macam terpenjara dalam ruang bawah tanah yang gulita. Tanpa lilin. Tanpa kehangatan. Dan tanpa uluran tangan.
Ana coba mereka dan menelisik. Ada apa dengan ana? Kenapa jiwa ini merasa begitu hampa dan hambar? Akhirnya ana merenung, berhari-hari. Berdiam diri dan melamun. Tidak melakukan apapun kecuali itu. Batin ini terasa sempit dan terhimpit. Persendian pun kian berlolosan.
Ketika malam telah meringkuk, ana bangun. Bersiwak dan berwudhu.
Astaghfirullah! Shalat malam kini terasa begitu hambar. Ekstase itu telah menguap. Ana heran dengan diri ana sendiri. Kemana rasa lapang dan bahagia tiap kali ana menyapa-Nya? Kemana airmata yang selalu setia terbuang kala nestapa melanda? Ah, ALLAH, aku harus bagaimana
Siangnya, ana ber-‘wisata’ ke perpus. Niatnya ingin menulis. Tapi keadaan membimbing ana ber-istighfar sekali lagi. Seharian ana di sana, tapi tak ada yang ana hasilkan. Satu paragraf pun tak ada.
Kemudian ana kembali ke kosan. Diam di kamar. Kembali menyendiri. Jiwa ini makin memekik minta dilapangkan. Namun entah kenapa masih saja gagal. Beberapa lama, teman sekos meminta ana membantu menginstal software. Lama ana main di kamarnya, membantu instalasi sambil menyelinginya dengan gurauan. Gagal. Rasanya masih sama, hambar.
Akhirnya sampailah ana pada setunggal nyana, “Apakah ALLAH tengah meninggalkanku?
Ana tersungkur, gemetar lidah ini mengemis, “ALLAH.. Jangan pergi..”.
Maka tibalah ana pada usaha terakhir. Pulang seminar, Jumat sore, ana berdiam di masjid. Sambil main SCRABBLE, seraya menunggu maghrib menjemput. Hingga adzan berkumandang, suasana hati masih sama, hambar. Ana pun bersiap-siap melaksanakan shalat.
Ketika imam bertakbir, ana diam. Ikut bertakbir lirih. Lalu mendengarkan bacaan imam. Beliau membacakan surah at-Tiin di rakaat pertama, al-Kaafiruun di rakaat kedua. Dua surah yang insya ALLAH kita semua hafal. Namun kala itu, macam baru pertama ana mendengarnya. Iramanya begitu manis dan menggelitik. Melantunkan nada indah yang menepuk-nepuk bantalan hati dengan lembut.
Tis-tis.
Titik-titik bening itu mulai menetes. Perlahan-lahan membasahi pipi ana.
Ya. Ana tak kuasa. Airmata itu kini telah tumpah. Meruah dan merebah. Entah mengapa tiba-tiba saja ana bisa menangis. Saat ana merasa ALLAH kembali peduli, kembali menyapa dalam shalatku. Dan sepanjang shalat itu, ana terus menangis. Pundak pun turut berguncang mengikuti irama tangisan.
Lepas shalat, ana masih ‘asyik’ menangis, sambil tercenung dalam hening. SubhanaKa, yaa, ALLAH.. Engkau selamatkan hamba sekali lagi. Dari rasa sedih karena sendiri, dari rasa takut karena tersudut. Dari rasa hambar karena kelembutan yang terhempas.
Ah, Saudaraku, rupanya bukan ALLAH yang tak peduli. Kita saja yang mendramatisir situasi. Jika benar Ia tak peduli pada hamba-Nya, maka takkan ada lagi napas berhiruk-pikuk di dada ini. Tiada lagi detak-detak merdu di jantung ini. Itu hanya perasaan kita. Ntah itu putus asa, atau perasaan sendirian dan tak dipedulikan.
Sebab selalu ada ALLAH, Sang Mahacinta. Ia yang senantiasa hadir menjadi pelipur. Senantiasa ada merengkuh kita dalam tiap tarikan napas ini. Menjaga kita dalam tiap keterpurukan.
Ana terngiang, kalimat yang rajin ana kutip, “InnALLAAHa ma’anaa.” Firman-Nya yang agung. Lembaran mulia itu telah menjadi bukti tak terbantahkan. ALLAH ada, Saudaraku.Sekejam apapun keterpurukan itu menyerbu qalbu, ingatlah ALLAH, tempat kita menumpahkan segalanya. Ialah ALLAH, Haribaan pertama dan terakhir kita.
Saudaraku, jika antum tengah bersedih, jangan menyana tiada yang peduli. Ada banyak yang menyayangi lewat cinta yang tak terucap. Ada banyak yang peduli lewat doa di belakang kita. Lalu cinta-Nya telah lebih dari cukup menguapkan segala penat dan kelelahan.
Cara ALLAH mencintai makhluk berbeda dengan cara manusia. Bukan dengan perhatian dan senyum manis. Bukan dengan ‘I Love You’. Bukan dengan apapun kecuali sapaan manis di tiap potret kehidupan kita. Ada rahasia di balik segala level semangat dan keputusasaan. Ada rahasia di balik segala bentuk kebahagiaan dan kesedihan. Itulah bentuk nyata kasih sayang ALLAH. Subhanallah.
Bisa jadi, kefuturan itu menyerbu karena Ia rindu sapaan malam kita. Ia rindu gemiricik air wudhu yang kita sapukan di sela-sela jari kala sepertiga malam-Nya hendak beringsut. Bangunlah, Saudaraku.. Ialah ALLAH, Tuhan kita. Tempat kita menyembah dan memuja. Tempat kita berserah dan meminta. Hanya pada-Nya. Hanya pada-Nya.
Inilah noktah-noktah peradaban yang tak terbantahkan.
Kemutlakan kasih sayang ALLAH bagi hamba yang mengais cinta hanya dari-Nya.
Datanglah pada-Nya. Lalu nikmati dekap hangat-Nya..
Alhamdulillaah..


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANGAN LUPA BERKOMENTAR DAN UNGKAPKAN PENDAPAT ANDA TENTANG ARTIKEL INI.

NO SARA
NO PORNOGRAFI
NO SPAM
NO LINK ON
NO LINK OFF

JANGAN LUPA UNTUK SELALU MEMBAGIKAN ARTIKEL INI KE JEJARING SOSIAL YANG ANDA SUKA YA :)