Minggu, 07 Oktober 2012

SISTEM PERS


SISTEM PERS INDONESIA


Sejarah Pers Indonesia
Di Indonesia (yang menganut sistem demokrasi), pers merupakan pilar keempat yang menopang tiga pilar yang lain (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). “kehidupan” pers bergantung pada kondisi politik yang berlaku di negeri ini.


Pra Kemerdekaan
Pada zaman pra kemerdekaan, pers berfungsi sebagai alat perjuangan kemerdekaan. Setiap orang bebas mendirikan perusahaan pers. Dan bebas memberitakan apa aja tanpa ada peraturan ataupun undang – undang yang mengatur (kala itu). Pemilik ataupun pengelola perusahaan pers pun merangkap menjadi wartawan.
Zaman Orde Baru
Memasuki rezim Orde Baru, “kehidupan” pers sangat bebas dan dinamis. Peraturan tentang pers sudah ada. Sehingga berita yang ditampilkan media tidak asal terbit begitu saja seperti pada waktu sebelum kemerdekaan (Orde Lama). Memasuki tahun 1974, pemerintah mulai “bertindak” terhadap pers. Pers tidak dapat sebebas dulu. Pengaruh ataupun kontrol pemerintah terhadap pers sangat ketat. Siapa yang melawan pemerintah akan mendapat teguran. Apabila teguran tersebut diabaikan, maka militer yang akan bertindak. Perusahaan pers pun terancam ditutup (breidel). Bahkan, SIUPP (Surat Izin Usaha Perusahaan Pers) bisa dicabut sehingga perusahaan pers tidak akan dapat beroperasi lagi.
Pers tidak dapat memberitakan tentang pemerintah secara sembarangan. Meskipun mengkritik, kritik itu pun harus bersifat membangun tanpa menjelekkan kinerja pemerintah. Pemerintah kala itu menyebut bahwa berita seperti ini (menyinggung pemerintah) dapat mengganggu stabilitas nasional. Sehingga terjadi gejolak dimasyarakat.
Meskipun begitu, pemerintah juga peduli terhadap “kehidupan” perusahaan pers. Terutama perusahaan pers yang tergolong kecil. Bagi perusahaan pers kecil, mendapatkan bantuan agar perusahaan merela masih bisa “hidup”. Apabila tidak mampu membeli kertas, perusahaan tersebut mendapatkan subsidi sehingga dapat membeli kertas dengan harga murah. Pers yang tidak laku, dibeli oleh pemerintah dan disebarkan. Sehingga dulu terkenal dengan sebutan “koran masuk desa”.
Memasuki tahun 1980 – an, pers menjadi industri. Pada tahun 1990 – an, pers tumbuh menjadi perusahaan dan sebagi simbol konglomerasi (kekayaan).
Reformasi
Inilah “puncak” dari “kejayaan” pers Indonesia. Pers menjadi bebas. Tidak takut dalam memberitakan apapun atau siapapun. Pemerintah pun dapat dikritik (entah kritik membangun apa tidak) bila kinerjanya dinilai buruk. Ancaman breidel ataupun pencabutan SIUPP sudah tak ada lagi.
Dengan munculnya era reformasi dimana pers mendapatkan kebebasan sepenuhnya dengan dihapusnya kontrol pemerintahan melalui Departemen Penerangan, beberapa persoalan kemudian muncul berkaitan dengan kedewasaan pers dalam memanfaatkan kebebasaannya.
1. Banyak kalangan yang menilai pers telah kebablasan. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan berita.
2. Monopoli perusahaan pers. Perusahaan pers dikuasai oleh orang yang mempunyai banyak uang.
3. Kualitas wartawan tidak standar. Banyak kode etik yang dilanggar demi mendapatkan berita.
4. Dominasi modal kuat (pengusaha non – pers mesuk ke industri pers. Hanya orang yang memiliki modal banyak yang dapat mendirikan perusahaan pers. Semakin kuat modal tersebut, semakin besar pula industri pers itu. Sebaliknya, semakin kecil modal, semakin kecil pula industri pers itu. Dan akan “mati perlahan – lahan”,

Analisis Kondisi Pers Indonesia Sejak Reformasi Hingga Sekarang
Semenjak reformasi hingga sekarang, pers bersifat bebas. Tetapi, terlalu kelewat bebas. Terutama pada media televisi. Pers menayangkan berita apasaja demi kepentingan bisnis belaka. Apabila acara tersebut sukses (rating naik), tentunya berdampak pada banyaknya iklan yang masuk. Tentu saja iklan tersebut menghasilkan pendapatan bagi perusahaan pers tersebut.
Berita apasaja dimuat tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi berikutnya demi menaikkan rating serta persaingan antara perusahaan pers lainnya. Lihat saja kasus yang terjadi pada TVONE dengan Polri. TVONE menayangkan markus (makelar kasus) yang ada di Polri selama 12 tahun. Ketika hal tersebut diusut oleh Polri, ternyata markus tersebut palsu. Si markus palsu tersebut mengaku disuruh oleh pihak TVONE dan diberi imbalan. Ketika dikonfirmasi kepada TVONE, TVONE menepis tudingan itu.
Apa demi menaikkan popularitas serta gengsi, pers membohongi publik? Apabila dihubungkan dengan Kode Etik Jurnalistik, ini merupakn suatu pelanggaran. Menurut Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers), hal ini melanggar Pasal 4. Dimana tertulis bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong.
Padahal, fungsi dari pers sendiri adalah sebagai informasi, hiburan (yang sehat), pendidikan, ekonomi, kebudayaan, serta kontrol dan perekat sosial (Pasal 4 UU Penyiaran No. 32/ 2002). Apabila berita yang disajikan tidak bermutu (bohong), bagaimana pers menjalankan fungsinya?
Pengelompokan Pers Cenderung Berpusat Pada Sekelompok Grup Perusahaan Saja
Pers telah menjadi sebuah industri. Tidak hanya menyampaikan informasi, pers juga berfungsi sebagai sarana mendapatkan keuntungan (bisnis oriented). Pers yang mempunyai modal besar semakin “kokoh tak tertandingi” dalam dunia industri pers. Sedangkan pers dengan modal pas – pasan semakin “tak berdaya” menghadapi persaingan industri pers.
Beberapa perusahaan pers besar mengambil tindakan untuk “membeli” perusahaan pers yang kondisinya “hidup segan mati pun tak mau”. Tetapi, apakah langkah itu “menyelamatkan” perusahaan kecil tersebut? Tentu tidak. Langkah itu diamabil hanya untuk “menancapkan kuku” kekuasaan perusahaan besar atas perusahaan kecil.
Meskipun telah “diambil alih”, perusahaan mereka tidak akan bisa menjadi labih besar dari perusahaan yang membeli mereka. Jaya Baya dan Djaka Lodang misalnya. Koran berbahasa Jawa ini telah “diambil” oleh Jawa Pos dan Kedaulatan Rakyat. Setelah “diambil”, dimana mereka sekarang? Seakan “hilang ditelan bumi”. Mereka tetap “hidup”. Tetapi “hidup” mereka tergantung dengan perusahaan yang “mengambil” mereka. Mereka (perusahaan kecil) tidak akan dibiarkan berkembang terlalu besar melebihi Jawa Pos atau Kedaulatan Rakyat.
Sekarang, pers (media) sangat penting perannya dalam menyampaikan informasi. Tanpa media, kita tidak bisa dengan mudah mendapatkan informasi yang kita inginkan. Tetapi, terjadi monopoli dan konglomerasi dalam media. Kepemilikan media terpusat pada segelintir pihak.
Jawa Pos misalnya, memiliki Radar – Radar (pembantu Jawa Pos di daerah – daerah) yang tersebar mulai ujung barat hingga ujung timur negeri ini. Jawa Pos juga “menguasai” beberapa perusahaan pers lain yang lebih kecil dari Jawa Pos. Selain itu, Jawa Pos juga memiliki “anak perusahaan” yang bergerak di dunia pertelevisian, JTV serta SBOTV.
Selain Jawa Pos, contoh lain perusahaan pers yang dimiliki segelintir pihak saja adalah TVONE. TVONE juga memiliki beberapa “anak perusahaan”. ANTV dan AREKTV berada dibawah kendali TVONE pemiliknya adalah satu orang, Aburizal Bakrie. Selain itu, (Aburizal) Bakrie juga memiliki perusahaan yang bergerak dibidang telekomunikasi. Yaitu ESIA.
METROTV, selain televisi, media milik Surya Paloh ini juga memiliki perusahaan pers lain yang bergerak dimedia cetak. Yaitu MEDIA INDONESIA.
Apakah “keperkasaan” orang – orang yang menjadi pemilik beberapa media besar ini mempengaruhi perusahaan yang mereka pimpin? Jawabannya (tentu) “iya”. Dahlan Iskan, misalnya. Pemilik Jawa Pos yang kini menjadi Direktur Utama PLN. Apakah Jawa Pos “berani” meyampaikan berita yang menyangkut keburukan PLN? Apakah TVONE, ANTV, serta AREKTV dengan “ksatria” mau memberitakan tentang Lumpur Lapindo (perusahaan milik Bakrie) yang hingga kini masih menimbulkan masalah? Mulai dari uang untuk korban lumpur yang belum tuntas, hingga semburan lumpur yang masih belum berhenti.
Apakah ini yang disebut “kebebasan pers?”. Meski pers telah bebas dari campur tangan pemerintah, (pelaku) pers tidak bisa bebas dari pemilik perusahaan pers. Pelaku pers tidak bisa leluasa memberitakan bos mereka meskipun bos mereka terseret masalah. Padahal, pers Indonesia harus bersikap independen (Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik versi Dewan Pers) tanpa ada campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Dan tentunya kebebasan pers dibatasi dengan kode etik dan peraturan yang berlaku.
Kondisi Politik Mempengaruhi Kondisi Pers
Pers tidak beroperasi di ruangan hampa. Apa yang terjadi di sekitarnya akan berpengaruh terhadap operasionalisasi pers tersebut. Sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial yang berlaku di sebuah negara pasti akan berpengaruh terhadap pers. Disebuah negara yang menganut sistem politik liberal yang bebas, dengan sendirinya pers di negara tersebut akan menjadi pers yang liberal juga.
Pada era Orde Baru yang otoriter, pers tidak dapat bertindak semau mereka sendiri. Pers diawasi oleh pemerintah (Departemen Penerangan). Apapun tindakan yang akan dilakukan perusahaan pers harus mendapat “restu” dari Depertemen Penerangan (sekarang dibubarkan). Misalnya dalam hal memberhentikan karyawan. Perusahaan pers tidak bisa serta merta memberhentikan karyawan begitu saja. Harus mengetahui Departemen Penerangan serta PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Tanpa ada persetujuan dari Departemen Penerangan serta PWI, perusahaan pers tidak dapat memberhentikan karyawannya.
Sekarang telah berubah. Indonesia tidak lagi menganut sistem otoriter, tetapi “menjelma” menjadi demokrasi. Setiap orang bebas mengutarakan pendapat. Perusahaan pers yang ingin memberhentikan karyawannya tidak lagi harus meminta izin kepada siapapun. Jika mau memberhentikan karyawan, tinggal kasih surat pemberitahuan kepada karyawan yang diberhentikan, beres.
Pada era reformasi sekarang, semua lebih terbuka. Dulu (era Orde Baru) kita tidak dapat mengetahui apa saja yang dilakukan pemerintah. Sekarang? Kita dapat mengetahui secara jelas bagaimana kondisi pemerintah kita. Mulai dari pejabat yang korup, hingga aparat penegak hukum yang sejatinya menegakkan hukum malah terjerat masalah hukum. Sehingga terjadi gejolak dimasyarakat yang dapat mengganggu stabilitas nasional.
Kasus yang menimpa Gayus misalnya (pegawai pajak yang terlibat makelar kasus). Karena pegawai pajak tidak bekerja sebagaimana mestinya, sempat muncul gerakan tidak membayar pajak. Masyarakat menilai, buat apa membayar pajak tetapi uangnya tidak untuk negara tetapi untuk kepentingan orang yang tidak bertanggung jawab?
Disinilah peran pers. Pers tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga harus menjadi kontrol sosial masyarakat agar kondisi masyarakat tetap terkendali.
Bagaimana Sistem Pers Indonesia?
Pers Indonesia sekarang hanya dikuasai segelintir orang yang bermodal banyak. Pers Indonesia menganut paham liberal. Beritanya tidak lagi demi kepentingan masyarakat, tetapi demi kepentingan perusahaan itu sendiri untuk mendapatkan uang sebanyak – banyaknya. Uang menjadi nomor satu. Urusan apakah berita tersebut berdampak buruk apa tidak urusan belakangan. Yang penting uang, uang, dan uang.
Televisi sering menayangkan debat pendapat antara dua kubu yang bertikai. Tidak jarang debat tersebut menjadi panas dan berubah menjadi pertengkaran fisik. Parahnya, masyarakat banyak yang suka hal – hal semacam ini. Bila ini yang terjadi, rating televisi naik, dan uang mengalir deras keperusahaan pers. Dan yang untung bukan masyarakat, melainkan perusahaan pers itu sendiri.
Solusinya?
Pers harus berpegang teguh kepada peraturan,undang – undang, ataupun kode etik jurnalistik yang sudah ada. Pemerintah juga harus turut andil dalam menata industri pers yang hanya dikuasai segelintir orang saja. Pemerintah harus mengeluarkan peraturan tentang kepemilikan perusahaan pers. Indonesia perlu meniru negara maju (Amerika Serikat). Disana, ada peraturan yang menyebutkan bahwa orang yang sudah memiliki perusahaan pers (televisi), tidak boleh memiliki perusahaan radio. Sehingga orang lain pun dapat mendirikan perusahaan pers sesuai dengan idealisme mereka sendiri – sendiri tanpa ada intervensi. Dan pemerintah harus berani dan tidak takut kepada para pemilik modal besar.
Apa Sistem Yang Paling Ideal Untuk Pers Kita?
Apabila pers kita masih tetap seperti sekarang (liberal), maka masyarakat tidak akan mendapatkan keuntungan sepenuhnya dari pers. Karena pers hanya mementungkan keuntungan perusahaan pers itu sendiri. Padahal, pers tidak berfungsi untuk mencari keuntungan semata.
Pada Orde Baru, Indonesia menganut sistem pers Pancasila. Sistem pers Pancasila adalah sistem pers yang digunakan di Indonesia yang merupakan salah satu dari sebelas sistem ketatanegaraan dan kehidupan pers termasuk dalam sub sistem dari sistem keenam. Pancasila adalah landasan idiil pers nasional Imdonesia yang harus dilihat secara bulat dan utuh. Dewan Pers dalam sidang plenonya yang ke – XXV di Solo tanggal 7 November 1984 telah merumuskan “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai – nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk pembangunan pers situ sendiri.”
Apakah sistem ini dapat kita pakai lagi? Di Dunia ini tak ada yang tak mungkin. Bisa saja kita kembali ke sistem ini. Tentunya didukung oleh berbagai pihak. Sebaiknya, pemilik perusahaan pers tidak ikut dalam pemerintahan. Apabila ikut, pers yang dipimpinnya tidak dapat independen. Dan berita yang disajikan tidak obyektif. Apabila kita kembali ke sistem ini (pers Pancasila), pemerintah tidak boleh terlalu jauh mencampuri pers. Pemerintah hanya mengatur. Tidak berhak mengambil tindakan lebih lanjut karena sudah ada Dewan Pers. Dewan Pers juga harus lebih aktif jika ada perusahaan pers yang menyalahi aturan.
Apabila kita berpegang teguh pada peraturan yang sudah berlaku, tentu semuanya akan berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Pers harus tetap menjadi pers yang independen. Dan insan pers harus mentaati peraturan, undang – undang, serta kode etik yang berlaku.



Artikel Terkait: